4th Minutes

130 18 4
                                    

Hari ini Jenna tersenyum senang karena Janu mau dengan sadar membelikannya helm baru dan sekarang sedang dipakaikan. Kemarin-kemarin helm untuk Jenna terlalu besar. Janu menyelipkan rambut pirang Jenna yang keluar dari jalur amannya.
Keduanya tersenyum sebelum berangkat ke suatu tempat.

Sekarang usia mereka sudah lebih dari dua puluh satu tahun, umur hubungan mereka juga sudah terhitung sangat lama. Tanpa melibatkan bosan, orang baru, pertikaian yang besar, benar-benar hubungan yang tidak menyakitkan. Akan tetapi, karena saking lamanya mereka jadi tidak punya ide lagi untuk berkencan di hari Minggu.

Janu melajukan motor matic Jenna dengan syarat tangan gadis itu harus melingkar di perutnya. Sebenarnya Janu suka membawa motor merah kesayangannya, tapi Jenna lebih suka duduk di atas motornya sendiri lebih nyaman katanya.

Pemandangan car-free day membuat Jenna tersenyum, orang-orang sedang berjalan dan berolahraga menuju gedung olahraga.

"Hei lihat kakak-kakak itu serasi, ya, Ma?" Anak kecil itu sukses membuat Jenna salah tingkah. Janu juga salah tingkah, tapi ditahan.

***

Tujuan tak beraturan pertama mereka adalah sebuah toko buku di ujung kota. Rasanya berbicara di atas motor tanpa tujuan juga menyenangkan meski Jenna punya masalah pendengaran, jawabannya tidak jelas dan hanya 'hah?' berulang.

Karena toko buku ini terlihat unik dengan bangunan model klasik, penuh kayu coklat dan terlihat hangat.

Mata Jenna dan jemarinya mulai mengabsen judul-judul yang bertengger dalam rak. Jenna akan menyuruh Janu untuk menggapai buku-buku yang letaknya terlalu tinggi.

Perhatian Janu tersita oleh sebuah buku di rak kesehatan. Pengobatan Herbal untuk Penderita Jantung, Janu mengambilnya. Jenna bilang keajaiban bisa datang dari mana saja, saat pertemuan pertama mereka keajaiban datang dari bola basket yang menggelinding. Sekarang mungkin dari buku ini.

"Aku udah pilih ini, Jan!" Jenna mengangkat manga komik asal Jepang sebagai barang belanjaannya.

Janu tersenyum, menggandeng miliknya lalu membayar semuanya.

***

Motor matic berwarna cream coklat itu melaju lagi, membelah dunia sampai berhadapan dengan cakrawala jingga.
Sudah senja dan Jenna rewel ingin melihat mereka dari atas roof top.

Satu-satunya yang Janu tidak bisa wujudkan dari permohonan Jenna mungkin hanya sebatas ingin ke bulan dan Janu berumur panjang.

Keduanya duduk di bibir rooftop memandang cantiknya jingga di ujung barat. Berlahan semburat cantik itu jatuh tertutupi gedung-gedung tinggi, ronanya indah menerpa wajah keduanya. Suasana kota yang menyenangkan.

Kaki Jenna mengayun, melihat jalanan macet di bawah kakinya. Suara klakson dan asap kendaraan yang terlihat tidak menyenangkan.
Kontras dengan warna langit sore hari.

"Janu, kasihan banget mereka kena macet. Sementara aku lagi seneng-seneng di atas penderitaan mereka." Jenna memeluk Janu, pemuda itu tertawa karena mereka memang benar-benar bersenang-senang di atas macetnya kendaraan yang berlalu lalang.

Jenna mendengarkan degup jantung Janu, beraturan dan seperti melodi paling sederhana yang selalu ingin dia dengar.

Air mata Jenna luruh di kaos Janu.

"Jenna kenapa nangis?" tanya Janu, menghapus air mata Jenna dengan ibu jarinya.

"Senjanya indah banget, Jan! Dan aku seneng banget bisa lihat senja bareng kamu. Today was really fun!"

***

@janurawr

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

@janurawr

Terang-terangan saja karena melihat senja dan jalanan macet hari ini, aku memahami satu hal. Bahwa hal baik dan buruk selalu terjadi beriringan.

Mungkin kalau aku tidak lahir sebegini sialnya, aku juga tidak akan seberuntung ini memiliki Jenna seutuhnya.

Boys, kamu bakalan iri banget sama sisi baikku. Jenna cantik, baik, ceria, optimis, gak pernah tantrum, sabar, masakannya enak dan dia genius. Dia bisa mengikuti semua hal yang aku suka meski sebelumnya dia tidak tahu apa-apa.

Apa kamu masih iri kalau tantangan hidupmu adalah hidup itu sendiri?

***

Alih-alih Jenna membaca buku hasil belanjaannya tadi, Jenna lebih memonopoli buku Janu. Toh sekarang Janu sedang kelelahan di kamar jadi Jenna sengaja membacanya sebelum Janu.

Ibu Janu datang, duduk di depan Jenna dengan wajah serius.

"Maaf, Bu. Lain kali kita tidak akan kemalaman." Jenna takut, Ibu Janu adalah orang paling protektif.

"Gak apa-apa, ajak Janu kemana pun yang kamu mau. Ke tempat yang belum pernah dia kunjungi sebelumnya, dokumentasikan untuk Ibu." Wanita itu menangis, air matanya jatuh berguguran.

Jenna rasa situasi ini lebih tidak enak dibandingkan biasanya. Buku tentang obat-obatan tadi terlihat bergetar karena sang empu terguncang, ia takut Janu benar-benar tidak bisa bertahan.

Perut Janu akhir-akhir ini sakit, sering muntah darah. Karena hatinya terserang, ia terlalu sering mengkonsumsi obat sejak belasan tahun. Janu diet obat-obatan kimia sekarang.

***

Ternyata Jenna pernah menangis, tapi aku terlambat sadar.
Dia menangis di depan senja, mengadu bahwa detak jantung ini masih baik-baik saja. Dia bohong akan keangkuhannya, tentang semua orang akan mati tapi hari ini bukan giliran Janu.

Meski matiku besok, lusa, dan seterusnya. Jenna merasa ketakutan hari itu datang.

Jenna tidak sekuat itu dan aku menyadarinya terlalu terlambat.

Januar Prayuda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Guys, masih ada menit ke lima sampai tujuh kalau ada ide kencan uwu kasih liat di komen yaaa kencan impian kalian kaya apa?

Seven Minutes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang