4. Kekhawatiran yang di sepelekan

961 113 10
                                    


Juna tidak tahu sudah berapa lama ia berada di pemakaman ini, yang Juna sadari hari sudah mulai gelap, awan pun mulai gelap di barengi dengan air hujan yang mulai membasahi bumi. Tetapi hal itu tidak membuat Juna bangkit dari posisinya, lelaki berusia 17 tahun itu masih betah berdialog sendiri di depan makam sang bunda. Seakan bahwa rasa rindunya belum benar-benar terbayarkan.  Dan, Juna masih ingin bersama bundanya di sini.

Hingga mendengar langkah seseorang membuat Juna sedikit merinding takut. Ayolah, hari sudah sangat sore bahkan adzan magrib sudah mulai terdengar berkumandang. Juna takut bahwa itu suara mahluk halus yang akan menganggunya.

"Juna?" tanya seseorang.

Yang tidak lain adalah Jay.

Ternyata langkah itu adalah langkah kaki Jay. Juna tidak tahu sejak kapan kakak nomor duanya itu ada di sini, Juna tidak mengerti.

Juna bangkit dari posisinya, menatap Jay dengan kosong. Begitu dengan Jay, Jay tahu sudah sangat lama Juna berada di sini.

Sebenarnya kedatangan Jay kesini untuk menegur Juna yang kelamaan berada di pemakaman. Jay yang hari ini memang berniat untuk berziarah pada makam sang bunda dan sang kekasih harus terganggu karena Juna.

Kedatangan awalnya, Jay akan berziarah dulu pada makam bunda. Tetapi, melihat adiknya yang sedang bersimpuh di sana membuat Jay mengalihkan niatnya untuk berziarah ke makam almarhumah pacarnya terlebih dahulu.

Tetapi ternyata, Juna belum juga pergi dari sana membuat Jay gregetan.

"Mau seberapa lama lo disini?" tanya Jay, terdengar kasar memang.

Juna menunduk.

"Pulang sana," pinta Jay membuat Juna mengangguk dan melangkahkan kakinya bahkan tanpa berpamitan dulu kepada sang bunda.

Tidak ada kata yang keluar dari mulut Juna. Jay hanya menatap langkah kaki adiknya dengan sendu, apa yang sudah Juna adukan sampai kedua mata itu terlihat kosong?

Tidak mau menyia-nyiakan waktu yang nyaris malam. Jay bersimpuh disana, mengusap batu nisan itu.

"Bun maaf Kakak gak bawa bunga seperti Juna yang bawain bunga buat bunda," kata Jay yang melirik bunga lily tersebut.

Tidak lupa Jay juga melayangkan sebuah doa untuk bundanya. Karena Jay paham bahwa yang bundanya butuhkan adalah doa.

Setelah cukup mendoakan sang bunda, Jay kembali menatap sendu nisan bundanya.

"Kali ini, Juna ngadu apa lagi, Bun?" tanya Jay dengan bibir yang gemetar, bukan hanya Juna yang rindu dengan bunda tetapi Jay juga.

Wajah cueknya hanyalah topeng untuk Jay menutupi lukanya.

Jay juga paham pasti banyak sekali hal yang Juna ceritakan pada bundanya. Karena Jay tahu bahwa Juna sangat dekat dengan Bunda, dan setelah bunda pergi sudah tidak ada lagi yang semengerti bunda.

"Kabar Kakak baik, tapi maaf Bunda. Kakak masih suka nangisin Bunda, maaf. Maaf karena Kakak gak bisa sekuat yang Bunda harepin. Tapi, Bun, Kakak pasti bisa tanpa Bunda, kan?"

***

Sarfa berdecak sebal melihat tingkah Jova yang tidak bisa diam. Tubuh adik ketiganya itu tidak bisa diam seperti setrikaan yang sedang di gunakan untuk melicin pakaian. Sarfa tahu, Jova sedang mengkhawatirkan seseorang yang tidak kunjung kelihatan batang hidungnya.

Sudah satu jam kepulangannya dengan Jova, Sarfa tidak melihat kedua adiknya yang lain padahal Sarfa tahu bahwa awalnya Jay bicara bahwa ia akan pulang dan di rumah juga ada Juna yang sedang libur sekolah.

"Mas, Juna kemana, ya? Hp nya gak bisa di hubungi, Jov tanya ke Mika, sama Wafda juga mereka gak tahu bahkan mereka emang gak main hari ini, gak biasanya," ucap Jova dengan nada yang khawatir.

Stronger | Jun SvtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang