5. Perasaan Bimbang

1.4K 99 11
                                    

HAPPY READING
.
.

"Om, kita ga pulang?" tanya Abe yang melihat langit mulai gelap.

"Habisin dulu makannya, Nak," ucap Abiyan.

Saat ini keduanya tengah berada di sebuah restoran. Abe dan Abiyan memutuskan untuk makan malam setelah seharian mengelilingi mall dan membeli beberapa mainan untuk Abe. Abe sendiri tampak tak tenang, mengingat hari sudah malam dan juga ia belum bertemu dengan Alula hari ini. Ia tak bekerja, dan kemarin Alula marah besar padanya. Jika ia pulang terlambat, Alula pasti akan semakin marah.

Abiyan sendiri tak menyadari kekhawatiran Abe. Ia terlau fokus pada ponsel yang ia bawa, beberapa kali mengangkat telepon yang menurut Abe pasti tentang pekerjaan.

"Om, udah," ucap Abe lagi, kali ini dengan piring yang telah kosong.

Abiyan mengangkat kepalanya, melihat bergantian wajah Abe dan piring yang telah habis isinya. "Maaf, ya, Papa malah ngurusin kerjaan. Tadi ada sedikit kendala, jadi Papa harus hubungi beberapa orang," kata Abiyan merasa bersalah karena membiarkan Abe makan dengan kesepian.

Abe kebingungan di tempatnya. Pikir Abe, kenapa harus minta maaf? Padahal Abiyan tak memperlakukan Abe dengan kasar. Abiyan bahkan terlalu baik, Abe yang sejak kecil hanya mendapat ujaran kebencian tentu senang diperlakukan sebaik ini oleh orang yang mengaku sebagai papanya.

"Ngga papa, Om, ayo, pulang. Nanti Ibu marah kalau Abe kelamaan pulang." Abe bangkit dari tempatnya duduk. Membuat Abiyan melakukan hal yang sama. Makanan mereka telah dibayar, jadi saat ini Abe dan Abiyan langsung keluar dari restoran.

Sepanjang jalan menuju rumah Abe mobil yang dikendarai Abiyan dan Abe benar-benar sunyi. Tak ada yang memulai percakapan karena merasa canggung. Abiyan yang sudah tak tahan pun akhirnya buka suara. "Abe sekarang kelas delapan, kan?" tanya Abiyan sambil menolehkan kepalanya ada Abe. Membuat Abe yang awalnya memperhatikan jalan pun menatap balik Abiyan.

Abe menjawab dengan anggukan, kemudia ia bertanya, "Om, kok, tau?"

"Tau, dong. Tapi, Abe, kan, masih kecil, nih, kenapa tadi mau kerja?" tanya Abiyan lagi. Mengingat bahwa Abe akan berangkat bekerja sepulangnya dari sekolah tadi.

"Kalo ga kerja, nanti ga cukup buat makan Abe sama Ibu, Om," jawab Abe, membuat Abiyan hanya bisa menganggukkan kepalanya.

Hatinya dipenuhi oleh rasa bersalah. Bagaimana bisa ia menelantarkan anak sebaik Abe? Harusnya ia mempertanggung jawabkan perbuatannya dulu. Jika saja ia bukan pengecut, mungkin Abe tidak akan hidup dalam kesulitan.

"Maafin, Papa, ya, Nak? Sebagai gantinya, Abe mau, kan, tinggal sama Papa?"

Abe yang kembali mendapat pertanyaan tersebut membeku. Ia bingung harus merespons bagaimana. Di satu sisi, ia tak ingin jika Alula tinggal sendirian di kontrakan kecil mereka. Namun, di sisi lain, ia merasa nyaman berada di dekat Abiyan, pria yang mengaku sebagai ayahnya. Jika ia tinggal bersama Abiyan, siapa yang akan bekerja untuk membantu ibunya memenuhi kebutuhan?

"Maaf, Om, Abe ga mau. Abe mau sama Ibu aja. Meskipun Om kaya, Abe tetep lebih milih Ibu karena Ibu yang udah besarin Abe," jawab Abe dengan yakin setelah mempertimbangkan beberapa saat.

Abiyan menghela napasnya, menghormati keputusan Abe. Ia akan berusaha lebih keras agar Abe mau tinggal bersamanya.

Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan kontrakan Abe. Membuat Abe dengan cepat keluar dari mobil.

"Tunggu, Nak," cegah Abiyan. Ia mengeluarkan dompetnya, kemudian menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah ke tangan Abe. Memaksa agar Abe mau menerima uang tersebut.

"Kebanyakan, Om. Abe cuma butuh dua puluh ribu aja," kata Abe menolak pemberian Abiyan.

Abiyan terdiam, ia tidak memiliki uang dengan pecahan dua puluh ribu rupiah. "Pak, ada uang dua puluh ribu?" tanya Abiyan pada supirnya.

Pria paruh baya tersebut mengangguk, kemudian menyerahkan selembar uang dua puluh ribu yang ia miliki pada bos-nya.

"Nanti saya ganti," kata Abiyan, "ini, badang-barang yang Abe beli tadi biar Papa yang bawa masuk. Kamu masuk duluan aja," lanjutnya sembari menyerahkan uang saku yang ia janjikan pada Abe.

"Makasih, Om," kata Abe dengan senyum cerah di wajahnya. Berharap uang tersebut dapat menyelamatkan Abe dari amarah Alula.

Abe terlebih dahulu memasuki rumahm Meninggal Abiyan dan supirnya yang membuka bagasi untuk mengeluarkan beberapa totebag berisi belanjaan Abe. Tepatnya, belanjaan Abiyan untuk Abe.

"Biar saya aja, Pak. Bapak tunggu di sini," ucap Abiyan. Mengambil alih belanjaannya untuk ia bawa ke dalam kontrakan.

Langkah Abiyan terhenti di depan pintu kontrakan saat mendengar suara teriakan Alula yang melengking. Abiyan yang tersadar dari rasa terkejutnya dengan cepat membuka pintu tersebut. Menemukan Alula yang tengah menendang tubuh kurus Abe tanpa ampun.

"Alula! Gila, ya, kamu?" teriak Abiyan marah. Ia berjalan cepat menarik tubuh Abe yang terduduk di lantai. Dipeluknya Abe yang terisak membuat Abiyan ikut merasakan sesak.

"Dia yang gila! Bisa-bisanya dia bahagia jalan-jalan sama kamu sedangkan aku di sini harus nanggung kesialan karena dia lahir ke dunia!" balas Alula dengan emosi menggebu.

"Om, Om pulang aja. Abe gapapa, Abe udah biasa, kok, kaya gini," kata Abe dengn suara lirih. Membuat hati Abiyan kian sakit.

"Kamu ikut Papa aja, ya, Nak? Pulang ke rumah Papa, mau, kan?" bujuk Abiyan lagi. Namun, belum mendapat jawaban dari Abe. Tangan Abiyan ditarik kuat oleh Alula.

"Pergi! Bawa anak haram ini sama kamu, aku ga butuh!" teriaknya. Alula menarik tangan Abiyan yang kemudian menendang Abe yang terlepas dari pelukan Abiyan. "Pergi dari rumah saya!" teriaknya lagi.

"Nggak, Bu, Abe mohon Abe minta maaf. Ampun, Bu. Abe janji, besok Abe ga akan bolos kerja lagi, Abe mohon." Abe memeluk kaki ibunya, berharap Alula mau memberi Abe pengampunan.

"Sialan!" Alula kembali menendang Abe hingga terbentur dinding kontrakan.

"Sudah Alula. Kamu jangan kasar gitu, dong," lerah Abiyan menarik Alula agar menjauh dari putranya sendiri.

Abe yang mendapat kesempatan tersebut dengan susah payah bangkit, meninggalkan perdebatan dua orang yang membuat Abe pusing. Ia berjalan dengan berpegangan pada dinding menuju kamarnya lalu mengunci pintu tersebut dari dalam. Abe meringkuk ketakutan di balik pintu kamarnya. Napasnya tersengal, merasakan sakit yang teramat di dadanya. Entah sakit karena tendangan sang Ibu yang tepat mengenai dadanya, atau karena ucapan sang Ibu yang menusuk hati.

"Maaf karena Abe harus lahir. Maaf karena Abe bikin Ibu susah, Abe janji, suatu saat Abe akan bayar semuanya. Abe janji, Bu," racaunya dengan sesekali terisak. Abe terus menangis, berusaha mengabaikan suara teriakan Alula yang terus menyebutnya sebagai anak haram. Perdebatan Abiyan dan Alula berlangsung cukup lama, hingga gedoran pada pintu kontrakan menghentikannya. Mungkin tetangga yang melakukan hal tersebut. Setidaknya Abe bersyukur, akhirnya keributan itu selesai. Waktunya beristirahat.
.
.

—tbc

Abiyan ganteng banget, buset, jadi swamiku aja mau ga? 🙏

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Abiyan ganteng banget, buset, jadi swamiku aja mau ga? 🙏

ohhh, kalau ada typo tolong tandain yaa, soalnya ini belum dibaca ulang😭🙏

NESTAPA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang