03 Maret 2023
Lantunan melodi lembut dari pianis di sudut ruangan menggema memenuhi aula. Para tamu undangan saling bercakap-cakap, menanti pengantin wanita berjalan menuju altar. Seorang gadis manis tengah berdiri dengan gugup di balik ruangan. Gadis itu mengenakan gaun pengantin putih yang punggungnya cukup terbuka, rambut cokelatnya dibiarkan tergerai jatuh melewati bahu. Riasan tipis di wajahnya semakin menonjolkan kecantikannya yang sempurna.
Namanya Luna, artinya bulan. Kecantikannya tidak perlu dipertanyakan. Wajahnya kecil, membulat bagai telur. Rambutnya panjang senada coklat kacang kastanye. Kelopak matanya besar bagai boneka, dengan bulu mata lentik yang menawan. Matanya berwarna hazel yang cerah, jika tersiram cahaya matahari yang lembut, semua orang akan terhipnotis melihatnya. Bibirnya mungil berbentuk hati, warnanya alami bagai apel yang ranum. Jika dia tersenyum, sepasang lesung pipit akan muncul ke permukaan, membuatnya semakin menarik. Kecantikannya bukan tipe 'matahari' yang menyala terang namun tipe 'bulan' yang temaram. Wajahnya tidak membosankan untuk dipandang.
Gadis itu meremas tangannya yang lembab karena keringat, dia gugup. Bagaimana tidak, di usianya yang baru menginjak 23 tahun, ayah bundanya mengumumkan bahwa dia harus menikahi seorang pewaris perusahaan ternama, dia harus menikahi laki-laki yang bahkan tidak ia kenal. Awalnya Luna menolak, dia tidak mau menikah dengan orang yang tidak ia cintai, terlebih orang itu tidak dia kenal. Namun tipikal orang tua sebumi pertiwi yang kita cinta, cukup dengan membawa-bawa kata durhaka, anak yang tidak berbakti, tidak tahu diuntung, akhirnya Luna pasrah juga. Dia tidak mau dicap sebagai anak durhaka, hatinya terlalu lembut untuk dibebani dengan hal itu dan orang tuanya tahu betul anak gadis mereka tidak akan pernah mengecewakan.
Hanya ada dua hal pasti yang Luna tahu tentang calon suaminya itu. Pertama, namanya Samuel Wijaya. Kedua, usianya 29 tahun, dengar-dengar dia akan segera memasuki usia kepala tiga beberapa bulan lagi. Sudah itu saja, Luna bahkan tidak tahu rupanya seperti apa, mereka belum pernah bertemu barang sekalipun, semua acara pernikahan ini sudah disepakati dan disiapkan oleh kedua belah pihak keluarga tanpa campur tangan mereka. Luna saja baru diberitahu satu minggu sebelum acara dilaksanakan, tidak ada perkenalan, tidak ada pertunangan, tiba-tiba sudah berjalan menuju altar pernikahan.
Luna menghela napas panjang, ia menatap sekali lagi pantulan dirinya di cermin. Syukurlah penata rias tadi setuju untuk mendandaninya dengan natural, dia sangat puas dengan hasilnya. Perlahan ia membuang napas berat melalui mulut, kemudian menutup matanya sejenak sebelum pintu aula terbuka. Ratusan pasang mata menatapnya terpana, di ujung altar sesosok laki-laki dewasa berdiri tanpa ekspresi, bahkan dia bergeming seperti manekin di toko pakaian. Luna menggandeng tangan ayahnya, berjalan menuju altar dengan gugup, sepatu hak tinggi yang dia kenakan terasa tidak nyaman. Melodi iringan dari pianis, sorak-sorai para tamu undangan seolah terhenti akibat pikirannya yang berkecamuk.
Langkahnya semakin dekat menuju calon suaminya itu, sosok laki-laki itu semakin jelas di matanya.
'Oh, dia... tampan' Luna membatin.
Laki-laki itu berperawakan tinggi menjulang jika dibandingkan dengan Luna yang mungil. Posturnya tegap dan berbadan, dia tidak gemuk, dan tidak bisa juga dibilang kurus. Wajahnya adalah poin utama, Tuhan seolah menciptakannya dalam suasana hati yang baik. Alisnya tebal, matanya berwarna hitam legam bagai malam tanpa pelita. Sudut matanya tajam, memberi kesan tidak ramah. Hidungnya terpahat sempurna. Bibirnya tipis, dagunya lancip dan garis rahangnya tegas. Berkharisma dan penuh wibawa, seperti yang diharapkan dari seorang pebisnis sukses. Luna nyaris terperangah saat melihatnya untuk pertama kali.
Benar ini calon suaminya?
Ayah Luna melepaskan genggaman tangannya dari anak gadisnya itu, menyerahkannya pada mempelai pria sambil tersenyum, dibalas anggukan kecil dari Samuel. Mereka kini berdiri saling berhadapan, ditengah-tengah seorang pendeta berdiri bersiap memberkati pernikahan mereka. Mata Luna tidak henti menatap calon suaminya itu, sesekali dia berkedip tidak percaya. Ada kekaguman terpancar dari sorot matanya, Luna berdoa di dalam hati semoga Samuel merupakan laki-laki terbaik hadiah dari Tuhan untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Deal of Hearts
RomanceDalam dunia di mana kesepakatan bisnis seringkali lebih berharga daripada cinta, Samuel Wijaya, seorang pebisnis sukses yang berhati dingin dan gila kerja, dipaksa untuk menikahi Luna, seorang gadis jelita yang polos dan lemah lembut. Pernikahan mer...