Perjalanan menuju rumah terkesan sepi, cenderung senyap. Tidak ada percakapan basa-basi untuk saling mengenal, hanya ada deru mesin mobil yang menggema diikuti suara angin malam. Mata hazel Luna hanya berfokus keluar jendela, menatap lampu-lampu jalan yang menghiasi kota metropolitan. Tangannya menopang dagunya, sesekali menghela napas berat akibat hari yang panjang.
Lain pula dengan Samuel, laki-laki itu hanya berfokus menatap jalan raya, mengemudi dengan hati-hati sebelum melambatkan mobilnya saat lampu lalu lintas berubah merah.
Hening lagi...
Samuel melirik istrinya itu, ingin mengatakan sesuatu untuk memecah keheningan namun dia sendiri pun tidak terlalu jago berbasa-basi.
"Mau aku hidupkan pemanas?" suaranya yang serak itu terdengar memecah keheningan di antara mereka. Mata hitam legamnya menyadari Luna sedikit menggigil dan mengusap-usap bahunya.
Gadis itu menoleh, menatap Samuel sejenak. "Iya, boleh... tolong ya..." pintanya sedikit canggung.
Laki-laki yang kini berstatus sebagai suaminya itu mengangguk sebelum menyalakan pemanas dan menutup jendela mobilnya. Dia kembali menginjak pedal gas sesaat setelah lampu lalu lintas kembali berubah hijau.
Luna tersenyum tipis, merasa cukup diperhatikan. Sebelumnya dia sedikit kaget dengan sikap Samuel. Wajar sih, mengingat mereka belum terlalu mengenal satu sama lain. Tapi, jauh di dalam lubuk hatinya, Luna masih berharap agar Samuel menjadi laki-laki pilihan terbaik Tuhan untuknya.
Gadis itu meliriknya dengan ragu-ragu, hendak menanyakan sesuatu. "Kita pulang ke rumah orang tuamu, ya?" tanyanya menebak-nebak.
Samuel balas meliriknya sejenak sebelum memutar stir untuk berbelok, "Tidak, kita pulang ke rumah sendiri..." jawabnya singkat.
"Rumah sendiri?" ulang Luna memastikan.
"Lebih tepatnya rumah yang menjadi hadiah pernikahan untuk kita dari kakek dan nenekku" jelasnya membuat mata gadis itu terbelalak lebar.
Rumah? Hadiah?
Dua hal yang terlalu kontras untuk disandingkan bersama.
"Oh, mereka sangat dermawan..." puji Luna canggung sambil meremas gaun pengantin yang dia kenakan.
"Yah, begitulah..." respon Samuel singkat sebelum akhirnya mobil mereka memasuki area elit yang berada di alun-alun kota.
~O.o.O~
Apa yang kalian bayangkan ketika mendengar kata 'rumah'?
Sebuah tempat tinggal dengan gaya simpel cenderung modern mengikuti perubahan zaman, bukan?
Begitulah yang Luna pikirkan saat Samuel mengatakan 'rumah'. Setelah memasuki area elit tersebut, Luna menyangka Samuel akan berhenti di area perumahan mewah yang awalnya Luna sangka sebagai 'rumah' hadiah pemberian kakek dan neneknya itu. Namun, mobilnya terus melaju memasuki area yang lebih privat, hanya ada lapangan rumput sejauh mata memandang sebelum sebuah gerbang besar otomatis terbuka.
Luna merasa menciut, dia yakin adegan-adegan ini rasanya terlalu klise dalam drama perjodohan, sialnya dia malah merasakan hal itu secara langsung sekarang.
Samuel menghentikan mobilnya, mereka pun tiba di sebuah rumah megah yang diberikan kakek dan nenek Samuel sebagai hadiah pernikahan. Daripada rumah, ini lebih cocok disebut sebagai mansion. Gerbangnya sangat besar dengan ukiran-ukiran mewah yang terpatri indah di setiap detailnya.
Luna berdiri terpana saat gerbang besar itu dibuka. Mata hazelnya menjelajahi setiap detail yang ada dari seluruh sudut rumah yang luas dan elegan tersebut, takjub dengan keindahannya. Sekarang rumah ini adalah rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Deal of Hearts
RomanceDalam dunia di mana kesepakatan bisnis seringkali lebih berharga daripada cinta, Samuel Wijaya, seorang pebisnis sukses yang berhati dingin dan gila kerja, dipaksa untuk menikahi Luna, seorang gadis jelita yang polos dan lemah lembut. Pernikahan mer...