4. Dua burung dengan Satu Batu

606 117 31
                                    

Happy Reading

~•~

"Lisa, bagaimana keadaan Lilia?"

Lisa, tabib yang memeriksa Lilia seminggu ini, menatap ayah dan anak di depannya dengan kening berkerut heran.

"Ada apa?" Asha bertanya melihat ekspresi bingungnya.

"Hm ... saya hanya merasa heran. Memar di tubuh Lilia telah banyak menghilang. Padahal biasanya memar separah itu hilang 2-3 minggu. Apakah Lilia telah diberikan salep khusus?"

Asha dan Veron saling memandang sama sama bingung. Lalu Veron menggeleng. "Aku tidak pernah memberikannya. Dia hanya memakan obat darimu."

"Bukankah itu bagus?" ujar Asha tanpa berpikir terlalu banyak. Lalu ia bertanya. "Apa Lilia tidur?"

"Ya. Dia baru saja meminum obat dan tertidur."

"Aku akan masuk." Asha langsung masuk setelah melihat anggukan dua orang dewasa itu.

Lisa melihat punggung Asha menghilang di pintu dan menatap Veron. "Tuan Marques, terkadang aku merasa putrimu bersikap terlalu dewasa."

Veron terdiam lama dan berkata pelan. "Ya, kurasa begitu."

Di dalam kamar, Asha melihat wajah tertidur Lilia yang tidak sepucat sebelumnya. Biasanya ia akan berkunjung di malam hari saat adiknya tidur. Ia sangat sadar bahwa akibat Moana keberadaannya di benci Lilia. Entah apa yang dikatakan nenek psikopat itu, tapi Asha berhati-hati agar tidak membuatnya takut.

Asha menunduk dan melihat perban di lengan Lilia sudah dilepas. Ia menyentuhnya hati-hati dan menghela nafas lega. Seperti yang dikatakan Lisa, tidak ada bekas sedikit pun dan benar-benar sembuh.

"Aku merasa tenang sekarang," lirihnya pelan. Asha berdiri tegak dan akan pergi, namun tiba-tiba tangannya di pegang erat.

Asha menoleh dan tertegun menyadari Lilia sudah membuka mata menatapnya. Tidak seperti saat pertama kali mata itu sangat marah, tapi kini terlihat sedih dan berkaca-kaca.

"Apakah kakak akan pergi?" tanyanya serak.

Asha terkejut. Lilia tidak membencinya?

Asha tidak menjawab membuat Lilia bangun dan menggenggam erat tangannya. Mulutnya mengerucut dengan air mata mulai mengalir. "Jangan pergi."

Setelah tertegun lama, Asha tersenyum dan duduk di sampingnya. "Kakak tidak akan pergi. Mengapa kamu menangis?"

Lilia menangis tanpa suara. "Aku takut ..."

Asha menghapus air matanya dengan lembut dan dengan hati-hati memeluknya. "Apa yang kamu takutkan, Lilia? Ada kakak di sini. Tidak ada yang berani menyakitimu lagi."

Asha merasakan tangan Lilia memeluknya erat dan mendengarnya bergumam. "Kakak sangat hangat. Aku merasa tidak sakit lagi saat kakak memegangku."

Asha terkekeh dan melepaskan pelukan sembari menatapnya. "Aku akan membantumu mengoleskan salep. Apakah masih ada yang sakit?"

Lilia menggelengkan kepala. "Tidak ada yang sakit lagi. Kakak sudah menyembuhkanku."

Asha tertawa. "Bukan aku, tapi Tabib Lisa yang rajin datang memeriksamu. Dan atas usahamu juga yang mau meminum obat."

"Tidak." Lilia menolak dengan keras kepala. "Kakak tidak seperti yang madam katakan, malah kakak selalu datang setiap malam membuatku tidak sakit lagi. Obat yang kuminum tidak langsung berpengaruh, tapi saat kakak menyentuhku rasa sakit di badanku langsung menghilang."

"...benarkah?" Asha melihat ekspresi serius Lilia dan merasa tidak mungkin anak sepolos ini berbohong.

Menyadari Lilia tidak menolak keberadaannya saat ini bukankah alasan itu masuk akal? Adiknya tahu bahwa dia datang setiap malam dan menyembuhkannya? Bukankah dia tak pernah melakukan apapun?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Asha de FlorenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang