First of All : Mudik

9 1 0
                                    


Tangis berurai meluber jatuh membasahi pipi. Kepalanya menunduk tak lagi mampu mendongak. Tubuhnya terduduk karena tak kuasa lagi berdiri. Pelan-pelan ia mengangkat ponselnya yang sedari tadi dihiraukan. Mengetik beberapa kata dalam kotak pesan. Satu persatu huruf timbul. Bersamaan dengan harapan yang terselip.

Ia berharap. Pesan ini benar-benar membawa saudaranya kembali pulang.

Ke rumah sakit sekarang, Sadewa kecelakaan parah.

Bagai kilat yang menyambar. Kata perkata dalam pesan ini meluncur. Melewati kabel-kabel yang terakit diatas tiang. Melesat cepat, menembus lintas batas negara. Mengalahkan kurir yang bahkan baru menyalakan motornya untuk mengantar paket. Pesan ini jauh lebih cepat. Tak sampai lima detikpun sudah diterima walau tanpa tanda tangan resmi.

Pesan ini penting, jauh lebih penting dibanding surat pemerintah yang biasanya hanya berisi omongan tak masuk akal yang menguntungkan sebagian rakyat. Lebih penting dibanding program acara gossip yang bahkan menayangkan anak selebritis yang jatuh dari sepeda. Lebih penting dibanding perdebatan netizen tentang siapa yang paling berilmu, padahal mereka sama-sama tong kosong.

Dia kembali meletakkan ponselnya di samping tubuh. Bersandar pada dinding yang dingin. Bersebelahan wajah dengan hand sanitizer sehingga Ia bisa mencium bau alkohol yang menyengat. Matanya terpejam. Bukan, bau alkohol tak membuatnya mabuk. Namun, memikirkan nasib adiknya yang terbaring di ruang ICU membuatnya pening. Melihatnya terkapar di aspal tadi membuat tubuhnya dijalari rasa ngilu. Ya Tuhan, anak itu hanya ingin pulang.

Melihat kue-kue yang tercecer di jalanan tadi membuat hatinya teriris. Sadewa, dia hanya ingin pulang. Dia hanya ingin merayakan lebaran bersama di rumah. Seharusnya, sekarang dia sudah duduk manis di rumah sambil mencocol sambal buatan Kinan. Ditemani mendoan dan teh panas sebab si bungsu itu tak suka kopi. Dengan sajadah yang masih menggantung di pundak sebab baru pulang tarawih. Tertawa bahagia sembari menyerahkan kue-kue lebaran yang Ia beli jauh-jauh hari. Sadewa, di hari-hari terakhir Ramadhan, Ia hanya ingin pulang.

Dan kali ini, pulangnya berarti lain. Kue-kue lebarannya bahkan belum sempat tertata rapi di atas meja. Sadewa belum merasakan shalat tarawih di masjid tempatnya menimba ilmu agama ketika kecil. Sadewa belum mencicipi mendoan khas kakaknya yang dibuat khusus saat dirinya pulang. Sadewa, bahkan belum menginjakkan kaki di rumah yang baru saja di cat ulang untuk menyambut kepulangannya.

Kakak keduanya itu tak berhenti merapalkan doa-doa lembut demi keselamatan adiknya. Walau menahan sesak yang menjalar membius paru-parunya.

Dia beranjak menuju musholla. Tak ada pilihan terakhir selain bersandar atas segalanya pada yang Di Atas sana. Mengambil air, membasuh sisa-sisa air mata yang sejak dari berderai. Meluruhkan kotor dengan harapan juga meluruhkan sakit yang ada pada tubuh adik bungsunya. Dengan teliti, tanpa membiarkan satu bagian terlewat. Ia hendak bertemu Sang Kuasa. Tidak mungkin dalam keadaan berlumur kotoran. Berlumur dosa, iya.

Pelan-pelan mengambil sajadah yang tertumpuk di pojok ruangan. Menggelarnya dengan suara pelan sebab tak mau mengganggu orang-orang disekitarnya. Mengambil peci yang sentiasa tersimpan dalam pouch kecil. Peci pemberian Sadewa ketika mengunjungi suatu pondok pesantren yang kebetulan mengadakan haul besar-besaran atas nama seorang Kyai besar. Peci kembaran bertiga sebab Kinan memang tidak diajak. Dia, kan, pakai mukena.

Abiem mulai merapalkan bacaan-bacaan yang sudah ia hapal sedari kecil. Menikmati gerakan-gerakan indah seperti seniman menikmati seni. Memusatkan pikiran pada Sang Kuasa. Air matanya berjatuhan. Sampai mana sujud terakhir ia tunaikan, Abiem berdoa segala yang terbaik untuk adiknya. Segala yang terbaik menurut Yang Kuasa.

Tapi, Tuhan, bersediakah Engkau menyelamatkan bocah kecil ini? Ia, hanya ingin berlebaran bersama keluarga kecilnya, tidak lebih.

Abiem terus memohon dengan airmata yang tak mau berhenti mengalir. Menundukkan diri setunduk-tunduknya. Menyerahkan diri sepenuhnya pada Sang Pencipta.

Tapi, Tuhan berkata lain.


Karena yang terbaik menurut Tuhan, mungkinlah bukan terbaik menurutmu. Tapi, bisa dipastikan bahwa, itulah yang terbaik untukmu. Baik untuk sekarang ataupun nanti.

"SADEWA!!!!"

To be continued

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 21, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SadewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang