Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.
-:-:-
Tosari, 1920
R. M. Rangga Suryalelana
"Ada surat dari Romo?"
Di pagi lain yang mendung berselimut kabut, pertanyaan itu kembali saya ajukan. Lelaki muda yang kini tengah membeberkan selimut rajut di atas tungkai saya pun, terhenti sebentar. Matanya sekilas menatap saya dengan sorot yang terkesan sedikit menyesal dan kasihan.
"Ngapunten, Ndoro. Mboten wonten." (Maaf, Ndoro. Tidak ada.)
Dirman menjawab sungkan. Saya kemudian hanya terdiam, merasa tidak ada yang perlu dikomentari. Diri ini kembali meyakinkan hati jika tidak perlu kecewa. Cukuplah pemakluman itu saya sematkan di sana. Dan biarlah kemungkinan-kemungkinan yang saya pikirkan itu terjawab sekenanya.
Dirman lalu kembali merapikan selimut sembari bertanya apa saya sudah merasa cukup hangat. Saya kemudian hanya menjawab dengan anggukan kepala. Dia juga kembali bertanya apakah saya ingin sandaran kursi khusus tirah baring ini lebih direndahkan atau tidak. Saya kemudian hanya menjawab dengan gelengan. Dan kemudian, Dirman pun tak lupa untuk menyibukkan dirinya lagi dengan mengambil beberapa barang yang sekiranya saya butuhkan. Satu atau dua buku bacaan, pensil, dan juga buku sketsa. Tanpa perlu saya dikte, Dirman nyatanya sudah hafal betul detail-detail itu.
"Ada yang bisa saya bantu lagi, Ndoro?" tanyanya seraya menaruh barang-barang tadi di meja kecil sebelah kursi tirah baring.
Beberapa detik, saya hanya memandang jauh ke arah taman hijau dari bibir veranda ini. Rongga dada saya entah bagaimana terasa sesak dengan sesal dan lara ketika memperhatikan gestur-gestur seorang Dirman. Kenapa dia seperti tidak pernah lelah berada bersama saya di pengasingan semacam ini? Apa dia tidak merasa jika dunianya akan sempit jika terus-menerus seperti ini?
"Kamu boleh pulang ke rumah Romo kalau kamu mau, Man," ujar saya. "Beliau sibuk setiap harinya, pasti lebih butuh bantuan."
Kali ini, giliran Dirman yang terserang kebisuan. Ucapan saya barusan mungkin terlalu terasa tiba-tiba untuknya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, saya lantas menawarkan sesuatu yang mungkin bisa disebut sebagai "kebebasan". Ya, saya hanya mengkhawatirkan dirinya yang lama-kelamaan akan merasa terkekang jika terus-menerus berada di sini. Saya pun takut kalau Dirman akan terancam risiko yang lebih membahayakan—tertular.
Untuk beberapa jenak lamanya, Dirman kembali menyibukkan diri, membiarkan saya dihabisi oleh spekulasi-spekulasi. Entah apa yang tengah ia siapkan lagi untuk saya di kamar itu. Saya pun hanya bisa menanti jawabannya dengan terus memandang semak bunga mawar putih yang mekar semarak dan merambati pergola di taman, ataupun memandang alam Tengger yang tenang di kejauhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunyaragi
Historical FictionPetirahan Sunyaragi. Seperti namanya, tempat--yang dikelilingi oleh indah dan misteriusnya alam Tengger itu--memang selayaknya tempat istirahat yang syahdu nan sunyi di atas ketinggian. Di sana lah Raden Mas Rangga Suryalelana (Rangga) harus rela me...