Cublak-cublak Suweng

125 16 17
                                    

Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar

-:-:-

R. M. Rangga Suryalelana

Detik seolah teredam ketika langkahmu membelah sisi ruangan. Lampu-lampu gantung besar dan lilin-lilin membiaskan banyak kekaguman. Sementara, rangkaian bunga-bunga mawar merah dadu yang menghias meja-meja, tampaknya harus redup sebentar. Kamu laksana mencuri sejenak nyala mereka dalam diam. 

Diajeng, tidak akan bosan saya katakan jika saya akan selalu bersyukur atas hadirmu di sini. Semenjak momen di jembatan itu, setiap satu hari di mana saya masih bisa melihatmu, adalah saat saya diam-diam berterima kasih pada Yang Merawat Hidup, dan padamu. Tenteram ini ada ketika kamu ada. Sekali lagi, tanpa pernah bosan, ingin pula saya katakan padamu. Kamu harus melihat dirimu sebagaimana saya melihatmu, Diajeng.

"Sumonggo, Diajeng."

Ketika kamu akhirnya mengambil tempat di kursi piano, dan saya pun duduk persis di sebelahmu, serpihan diri saya seolah tengah berhamburan di dalam. Batas buram antara kagum dan rasa malu membingkai saya dalam satu kebingungan. Gusti, rasanya saya tidak akan jenuh untuk bertanya tentang bagaimana semua ini akhirnya menjadi suratan yang melekatkan.

Kalau boleh jujur, sedari tadi kita bertemu di luar, semua yang kamu kenakan di malam ini tidak berhenti menarik perhatian saya, terlampau penuh keanggunan. Kebaya janggan hitam, kain jarik motif laranganageman yang melekat di  tubuhmu itu adalah yang terasa sangat memantaskan. Secara tidak sengaja terasa seragam dengan yang saya kenakan.

Dan malam ini, kamu adalah yang kelihatan terang-terangan dengan status Tuan Rumah tanah Jawa sungguhan, tanpa mau ada embel-embel atribut kolonial. Ada apa gerangan, Diajeng? Kamu betul-betul berbeda dari yang biasa saya lihat di taman dan ladang, apalagi dengan yang di jembatan waktu itu. Apa memang sedari awal kamu tidak ada maksud menyembunyikan semua ini? Saya masih belum paham.

"Diajeng mau bermain lagu apa?" tanya saya pelan.

"Terserah Raden Mas saja," jawabmu, terdengar seperti setengah canggung dan sungkan.

Mata saya dan kamu sekilas bertemu. Namun tak lama, kita memutus begitu saja jalinannya. Kita layaknya kembali tersekat rasa malu dan ingatan akan adat kesopanan yang sudah mendarah daging. Kemudian, sunyi sesaat. Dirimu hanya tertunduk di depan piano dengan jemari yang masih saja bertumpu di pangkuan.

Sekejap kemudian, satu gagasan muncul di benak. Tangan ini meraba tuts. Dengan cepat beberapa nada di tangga nada mayor yang kedengaran ceria itu, saya tekan. E, G, G, D, E, C.

"Kalau ini bagaimana?" tanya saya, setengah mengujimu.

Diajeng, saya yakin kamu pasti tahu ini lagu apa. Dan benar saja, setelahnya, reaksi di wajahmu itu langsung terbaca seperti tengah menemukan satu kelucuan. Namun kemudian, kamu tampak mengendalikannya begitu cepat, tidak semudah itu mengizinkan saya membacamu layaknya halaman buku terbuka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SunyaragiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang