Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.
-:-:-
Rahayu
Bunga layu di dekat ranjang pesakit adalah selayaknya pertanda bencana.
Pemikiran itu kembali terlintas dalam benak, mengabutkan keinginan untuk tetap waras. Jemariku pun terhenti. Untuk sekejap, mata ini memejam seraya perasaan menyesakkan kembali menghimpit rongga dada. Ada kelebatan hari-hari yang pernah terasa begitu mengiris keinginan hati untuk tetap bertahan. Hingga detik itu, semuanya pun masih kerap datang tanpa diundang, merasuk ke dalam palung sukma, menjelma bayang-bayang paling kelam.
Tak tahan lagi akan hitam, aku pun memacu langkah tanpa tujuan. Bunga-bunga yang tadinya tengah dirawat, kutinggalkan layaknya tak bertuan.
"Mbakyu, tindak pundi? Meniko durung rampung." (Mbakyu, mau ke mana? Ini belum selesai.)
Teguran salah seorang rekan yang melihatku memelesat ke arah gerbang taman, tak lantas kuindahkan. Kini, hanya ada suara-suara asing yang terus menggerus keinginanku untuk tetap tinggal. Semua yang kini berkelebat dalam benakku hanyalah lembar-lembar hitam yang tidak ada ampunnya mengabutkan akal.
Langkah kaki telanjang ini berpacu dengan deru napas yang kian memburu. Tidak karuan rasanya. Tatkala melewati istal kuda milik petirahan, aku sudah tidak bisa berpikir panjang. Buru-buru aku masuk ke dalamnya. Segoro, si hitam legam bersurai menawan, kemudian kudapati menganggur di bilik paling ujung.
Tiba di hadapannya, napasku masih tersengal. Susah payah aku berusaha membuat raut tenang di tengah emosi yang terus mendesak dada, sengsara. Segara sempat meringkik, terdengar defensif. Seperti hari-hari biasanya, aku tahu dia sudah mulai membacaku, meraba auraku dari jarak yang tidak seberapa ini. Karunia Tuhan memang telah membuat mereka, kuda-kuda, seolah mampu membaca emosi manusia, menerjemahkan sentuhan-sentuhan ke dalam gelombang yang lebih sensitif baginya.
Perlahan, aku mengulurkan tanganku di depan wajahnya, berusaha menjadi yang "telanjang". Aku membiarkannya terkoneksi dengan diriku yang kini memang tengah berserakan. Dia tidak menghindar, hanya mendengkus kencang ketika aku mulai meraba pangkal hidungnya yang lebar. Dia sepertinya tahu, aku sedang tidak sabaran. Lalu, hampir saja aku menarik telapak tanganku dari sana. Namun kemudian, ketika ia menyundulkan lembut sisi wajahnya ke pipiku, aku paham kalau ia masihlah yang toleran.
"Cah Bagus," pujiku dalam bisik.
Tangan ini masih terus mengelus tubuhnya perlahan sembari aku berjalan mengitarinya. Dan kemudian, tanpa aba-aba tambahan, aku pun menaiki pelana dengan mulus. Tidak peduli kain jarikku ini mau robek atau apa, yang penting aku sudah duduk di atasnya dengan mantap.
Segoro meringkik lagi ketika aku mulai menarik tali kekang. Dan ketika aku mendepak bagian sisi tubunya dengan sebelah tungkaiku, ia sontak menaikkan kaki depannya, mengentak cukup kencang. Aku tidak lantas terhuyung ke belakang. Emosiku justru adalah kuasa yang lebih kuat mengakar pada dirinya. Ia seperti cakar yang mencengkram, membuatku sebagai pengendara tetap tegak di atas punggungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunyaragi
Historical FictionPetirahan Sunyaragi. Seperti namanya, tempat--yang dikelilingi oleh indah dan misteriusnya alam Tengger itu--memang selayaknya tempat istirahat yang syahdu nan sunyi di atas ketinggian. Di sana lah Raden Mas Rangga Suryalelana (Rangga) harus rela me...