Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar
-:-:-
Rahayu
Mentari belum bangkit dari peraduan. Selimut gelap di atas langit masih terhampar luas. Meski begitu, gerak langkah-langkah yang bertelanjang kaki di kebun ini sudah lebih dulu mendahului pagi.
Dini hari itu, aku kembali berdiri di hadapan mereka–orang-orang desa yang bekerja sebagai pekerja ladang dan tukang kebun di petirahan ini. Seperti biasa, aku akan memulai semuanya dari menjelaskan beberapa hal yang harus mereka kerjakan pada awal hari ini hingga tengah hari nanti, termasuk pula beberapa evaluasi-evaluasi yang harus dilakoni. Hal-hal yang tidak mampu dibaca oleh para warga buta huruf ini pun, kuterangkan satu persatu.
Mataku kembali memindai kolom-kolom yang terpampang pada semacam papan besar ketika melewati screen house. Target-target panen yang terpampang di sana baru sebagian yang terpenuhi. Sebelum matahari terlampau meninggi, semua sudah harus diselesaikan dengan baik. Dapur petirahan akan menunggu datangnya sayur-mayur dari kebun ini. Sementara Paviliun dan bangsal-bangsal petirahan adalah yang menanti bunga-bunga potong segar.
Aster, krisan, panca warna, ataupun mawar, adalah bunga-bunga yang hari itu paling banyak dipanen oleh para pekerja. Setelah itu, barulah kemudian semuanya dikumpulkan di ruang sortasi. Kami memilih yang terbaik untuk nantinya dirangkai sederhana dan dikirimkan ke tiap bangsal-bangsal ataupun paviliun para pasien petirahan.
Selepas kegiatan panen dan sortasi usai, semua pekerja akan kembali ke pos masing-masing untuk kegiatan pembibitan, pindah tanam, penyiapan media tanam, ataupun perawatan taman-taman.
"Jadi begini, ya, Bapak-bapak. Kalau semua medianya sudah siap, kita mulai siapkan batang bawah mawar yang sekiranya sudah cukup tua. Jadi kalau dipegang terasa berkayu dan keras."
Kala itu, saya tengah mengajarkan teknik perbanyakan mawar dengan okulasi pada para pekerja baru yang ditempatkan di bagian pembibitan mawar potong. Mereka berjajar di depan saya, dengan masing-masing gunting kecil di tangan mereka. Sembari mendegarkan instruksi saya, mereka pun mulai bekerja.
"Kita potong bagian pucuknya, lalu sisakan saja beberapa jari. Mata tunas yang diambil dari batang lainnya kita tempelkan di batang bawah yang sudah dikerat tadi."
Sembari mengawasi para pekerja baru ini berkutat dengan batang-batang mawar yang harus mereka urus, mata saya memandang ke kejauhan. Mentari yang mulai meninggi telah membuat kebun ini kian berwarna adanya. Taman-taman di sekelilingnya pun sudah mulai dirawat seperti biasa. Beberapa pekerja tampak memangkas tanaman yang sudah terlalu lebat dan tampak kurang rapi ataupun melakukan pemupukan dan penyiraman di banyak sudut.
"Di sini, kehidupan mungkin akan terasa sangat landai dan tunggal nada. Tapi, masih ada taman-taman dan bentang alam yang meneduhkan."
Sunyaragi, tempat sunyi di atas gunung ini percaya jika kumpulan pesakit yang hidup di dalamnya memang butuh perbaikan koneksi dengan hal-hal yang sifatnya organik. Itu juga akan berperan dalam proses penyembuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunyaragi
Ficción históricaPetirahan Sunyaragi. Seperti namanya, tempat--yang dikelilingi oleh indah dan misteriusnya alam Tengger itu--memang selayaknya tempat istirahat yang syahdu nan sunyi di atas ketinggian. Di sana lah Raden Mas Rangga Suryalelana (Rangga) harus rela me...