Aku lari menjauh dari kedua pria atletis itu. Kuhentakan dengan kasar pegangan tangan Edo pada lenganku dan segera berlari masuk kedalam kerumunan. Aku merasa sangat sakit mendengar ucapan Mahendra. Ia hanya ingin berduaan dengan Edo. Ia hanya ingin menikmati wahana yang ada disini bersama Edo.
Aku yang hanya menikmati permainan disini sedaritadi hanya sepihak. Kupikir Mahendra tersenyum karena ia bersamaku. Kupikir ia tersenyum karena menikmati bersamaku.
Seharusnya aku sadar. Namakupun ia tak tahu. Mungkin sebenarnya Mahendra masuk klub futsal karena ia ingin dekat dengan Edo. Ia bersikap baik padaku karena ia ingin menarik perhatian Edo dan berpikir jika ia bisa menjadi pasangan yang baik dengan menunjukan ia bisa merawatku.
Aku menangis di antara kerumunan orang yang tertawa. Aku tidak ingin pulang. aku tau Edo pasti segera pergi kerumahku untuk mengejarku. Aku tidak ingin menemuinya dengan perasaan hancur yang seperti ini.
Aku memutuskan untuk pergi ketaman kota. Membeli eskrim dan menikmati waktu sendirian.
DRRRTT...DRTTT....DRRTT...
HP-ku terus menerus bergetar. Pertanda adanya pesan dan telepon yang masuk terus menerus. Kuputuskan untuk mematikan HP-ku lalu duduk dibangku taman di tengah kota.
Saat itu hari mulai sore. Senja mulai terlihat di ufuk barat. Burung-burung merpati yang sedari tadi memunguti kacang yang jatuh di lantai taman kota mulai berterbangan kembali kesarangnya.
Beberapa kelelawar bahkan sudah terbang melewati kupingku menantikan datangnya malam. Mataku sembab dan bengkak. Aku berhasil menangis dalam keramaian. Sepanjang siang aku hanya duduk ditaman. Sesekali bersembunyi masuk kedalam kubah besar tempat bermain anak-anak hanya untuk sekedar menangis dan menikmati waktu sendirian.
Membeli es krim dan makan coklatpun tidak membuat perasaanku lebih baik. Astaga apakah ini rasanya patah hati? Bahkan bunga dihatikupun tidak sempat mekar namun ia sudah layu dan gugur lebih dahulu.
Kini dewi malam benar-benar sudah muncul. Suara jangkrik terdengar nyaring. Bersautan dengan bunyi klakson dan mesin kendaraan. Aku berjalan lunglai menuju halte bus.
Tidak terlalu banyak orang di halte bus saat itu. Ntah karena memang hari sudah malah atau memang karena suara gemuruh langit yang terdengar penanda jika hujan akan segera turun.
Aku hanya duduk diam dengan pandangan kosong di halte. Secara tiba-tiba hujan mulai turun. Beberapa orang mencari tempat untuk berteduh. Tepat ketika halte yang sempit dan terbuka ini mulai dipenuhi orang, bus tujuan arah rumahku sudah datang. Aku segera bergegas naik ke dalam bus dan melanjutkan galau ku didalam bus.
Aku segera turun saat bus berhenti didekat halte rumahku. Aku berlari dari halte ke arah rumahku. Tidak terlalu jauh kok, namun karena hujan yang begitu deras membuatku menjadi basah kuyub.
Saat aku sampai didepan rumahku kulihat seorang pria yang tampak frustasi. Ia duduk didepan rumahku. Sebatang rokok tampak menghiasi sudut bibirnya.
"Lu sejak kapan ngerokok?"
Brug...
Pria itu Edo. Ia memelukku dengan sangat erat. Tanpa banyak bicara ia menarikku masuk kedalam rumah. Mendorongku masuk kedalam kamar mandi.
"Lu mau mandi sendiri atau perlu gue paksa juga?" tanyanya saat aku tidak bergeming didalam kamar mandi. Kuputuskan untuk membersihkan diri sendiri sementara ia kudorong keluar. Entah apa yang ia lakukan kini di dalam rumahku.
Yang jelas, saat ini rumahku kosong. Hanya ada aku dan Edo. Dan kenangan yang menyakitkan.
Aku menggosok rambutku pada handuk kering. Kini aku sudah berganti pakaian dengan piyama. Rambutku masih basah dan berbau shampo. Aku turun ke ruang tengah untuk memastikan jika Edo sudah pulang. Namun yang kudapati adalah ia sedang mempersiapkan makan malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lensa Kontak Yang Berkedip
Teen FictionSatya, seorang anak culun yang mukanya ke gebok bola. dengan bantuan kontan lensa ia berkedip kepada orang yang ia sukai.