Prolog

87 6 36
                                    


Drrrtdrrtt

“Kamu lembur?”

Pertanyaan itu langsung terdengar ketika ia baru saja sambungan telepon mereka terhubung, bersamaan dengan itu juga melirik jam dinding, tepat pukul 21.18.

“Iya, ada barang baru datang, Bu.”

“Jam berapa pulangnya? Biar ayah jemput.”

“Sebentar lagi, ini udah selesai. Aku pulang sendiri aja.”

“Sudah hampir setengah sepuluh malam, nak.”

“Jalanan masih ramai kok, aku pulang sendiri aja. Udah dulu ya, mau siap-siap.”

Ya udah, hati-hati.”

“Iya, tapi aku mampir ATM dulu. Dapat bonus dari bos.”

“Besok aja, ini sudah malam.”

“Gapapa, biar bisa kasih adek jajan besok.”

Helaan terdengar dari seberang sana   “Kalo begitu, hati-hati ya, nak.”

“Siap!”

Ia memasukkan ponselnya ke kantong jaket, lalu bergegas keluar dari gudang penyimpanan barang. Hari ini ada barang baru datang, inilah kenapa harus lembut karena biasanya sebelum jam 9 ia sudah sampai rumah.

Jalanan memang masih ramai, itulah kenapa masih berani pulang sendiri tanpa dijemput. Namun karena ada hal yang sedikit mendesak, Putri, nama gadis itu melipir terlebih dahulu ke ATM.

Besok takut ga keburu, ambil malam ini aja deh. Begitu pikirnya, karena ia terkadang bangun kesiangan.

Letak mesin ATM sedikit masuk dalam jalan kecil, yang mana itu mengharuskan Putri berada di tempat sepi untuk sementara.

Kurang dari 10 menit, gadis itu selesai dengan urusan kecilnya. Dengan senyuman yang terpatri di wajahnya, ia bersenandung kecil. Hari ini mendapat bonus, itulah kenapa ia buru-buru mengambilnya.

Buk!

Ia baru mau memasang helm, tiba-tiba merasa nyeri di bagian belakang kepalanya. Bahkan ia tidak sempat melihat siapa yang melakukannya karena langsung tidak sadarkan diri.

Tubuh gadis itu langsung diseret kedalam kegelapan.

***

“AAAA HUAHH!!!”

PLAK!

Junio histeris langsung di geplak Raikana, karena laki-laki itu berteriak di dekat telinganya.

“Agak gila emang.” Dhanu menggeleng ketika melihat rekaman yang diperlihatkan Raikana.

“Kenapa orang-orang bisa tega begitu?” Tanya Junio sambil mengusap kepalanya.

Mereka hanya bisa menghela nafas, kasus kali ini cukup membuat mereka berkali-kali menggeleng kepala.

“Jadi ini alasan dia gambar kaus kakinya beda sebelah ya?” Gumam Jean. Mereka sekarang tengah mengumpulkan ulang berkas.

“Iya, ternyata waktu itu kakinya di gips ya.” Sahut Junio, Jean mengangguk.

“Uang memang bisa membuat orang menjadi setan.” Kata Jeihan yang duduk sambil memijat pelipisnya.

Jean mengangguk samar, dulu dia dan Sania pernah bertengkar karena uang jajan. Mereka saling diam hampir tiga hari, lebih tepatnya Sania yang mendiamkannya.

Gadis itu tidak sepenuhnya salah, tidak juga benar. Maklum masih muda, selalu mengira dibedakan, padahal sama sekali tidak pernah.

“Tapi kenapa harus mengorbankan anak kecil begini?”

“Terlalu gelap mata, karena mereka tau kalau tulang anak kecil elastis, jadi tidak mudah patah. Apalagi tekanan roda ga terlalu berat tanpa kecepatan tinggi. Makanya waktu hasil CT scan kemarin ada banyak kesamaan patah tulangnya.” Jelas Raikana. “Mereka pintar tapi berhati iblis.”

“Saking pintarnya mau bunuh diri dengan menghirup briket, tapi dibawah alarm kebakaran.” Sahut Dhanu terkekeh. “Kenapa ga sekalian di tengah hutan aja.”

Sepasang suami-isteri sengaja merekayasa kecelakaan demi mendapatkan asuransi atas anak mereka. Ah bukan suami-isteri, tapi lebih tepatnya mereka pacaran. Kemudian merencanakan mencelakakan sang putri karena uang yang mereka dapatkan cukup besar.

Tapi sayangnya saat itu mereka kurang beruntung, sang anak hampir saja kehilangan nyawanya setelah nekad berdiri karena sudah beberapa kali percobaan, cidera yang mereka inginkan tidak sesuai.

“Jadi begitu alasan dia menaikan kecepatan, cuma si anak malah bangun.” Kata Jean.

Sebenarnya Jean tidak terlalu cocok jika ada kasus yang melibatkan orang tua, anak kecil dan juga perempuan atau keluarga. Ia akan emosional, karena sangat berbanding terbalik dengan keadaan keluarganya.

Ia juga masih ingat wajah kedua orang itu saat mendengar jika uang yang akan mereka terima setelah sangat besar, bisa-bisanya mereka masih memikirkan hal itu padahal sang anak hampir kehilangan nyawa?

Tidak habis pikir!

“Semoga aja setelah ini ga ada kasus tentang keluarga gini, apalagi perempuan.” Gumam Jean.

Setelah meletakan berkas tadi ke lemari, Jean terduduk lesu, ia mengedarkan pandangannya ke sudut ruangan. Ditatapnya lama meja Sania yang kosong, lalu menunduk.

Sudah seminggu ini Sania dipindahkan (lagi), ia bergabung dengan tim forensik czk timur. Yang mana ia akan bekerja bersama dr. Rissa.

Itulah kenapa dia merasa sedih, karena ini pertama kalinya mereka berpisah tempat kerja.

Padahal aslinya masih satu rumah.

“TAPI YA TETAP AJA SEDIH!” Jean meledak sendiri dengan pikirannya, sampai Dhanu menatapnya heran.

“Kenapa kamu?”

“Hah? O–oh gapapa, hehe.” Jean berdiri meninggalkan lemari.

“Lo kangen Sania apa gimana?” Tanya Raikana memicingkan mata.

Jean cuma nyengir kembali ke bangkunya.

“Heleh, padahal serumah.”

“Beda, aku sama dia ga pernah pisah gini.” Jean menyandarkan punggungnya.

“Main-main lah kesana.” Kata Junio.

“Kapan-kapan deh.” Jean menidurkan kepalanya di meja.

Ketiga laki-laki yang memperhatikan Jean hanya bisa menggeleng, Junio maju puk-puk kepala Jean tapi sebenarnya itu agak di toyor.

“ISH—

“Kirim lokasinya.”

Belum selesai Jean protes, Jeihan tiba-tiba masuk dengan ponsel di telinganya.

“Oke.” Laki-laki itu melihat dua rekannya yang lain.

“Ada  pendaki i baru aja nemuin jasad perempuan di kaki gunung, lo berdua ikut gue.” Katanya menunjuk Junio dan Dhanu. “Rai lo sama Jean standby disini.”

“Oke.”

Ketiganya bergegas meninggalkan Jean tengah  mematung, bersama Raikana yang sudah kembali ke mejanya.

“Perempuan? Jasad?” Lirihnya.

***

*Ini akan lanjut kalau sudah mulai ramai😂😂😂
Videonya nanti divoom ye wkwk

The Truth Untold 2 : Who Are You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang