Angin berhembus kencang dari biasanya. Sore ini, masih sama seperti sore yang sebelumnya. Aku pulang dari sekolah dalam keadaan berantakan. Semuanya basah, rambut, seragam, sepatu, ditambah lagi ada tiga luka memar yang baru. Padahal, luka yang kemarin saja belum sembuh, masih terasa sakit.
Aku membuka pintu rumahku, dan masuk ke dalam. Aku menghela napas yang panjang dan berat. Ribuan kali aku berharap, agar orang tuaku ada di rumah ini, menemaniku, dan mendengarkan semua keluh kesahku. Namun, sampai detik ini, tidak ada satupun yang datang ke rumah ini.
Namaku Sekala Falisha, biasa dipanggil Kala. Saat ini, usiaku 18 tahun. Sebagai anak tunggal dari pasangan yang selalu sibuk dengan dunianya masing-masing. Kata ibuku, arti namaku adalah, 'terlihat bahagia dan beruntung'.
Tapi, kehidupanku tidak seperti itu. Hidupku hancur, sejak 3 tahun yang lalu, ayah dan ibu meninggalkanku sendiri di rumah. Memang, ayah dan ibu selalu mengirimkan uang padaku tiap bulannya. Tapi, rasanya berbeda. Mereka juga, jarang berkunjung ke rumah. Aku selalu menangis setiap malam. Aku merindukan mereka. Sejak masuk SMA, setiap hari aku dibully tanpa tahu apa penyebabnya.
Seusai mandi, aku pergi ke kamarku dan mengambil ponsel yang ada di tasku. Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang, dan membuka Whatsapp. Aku menekan nomor ibu, dan mencoba untuk meneleponnya. Tapi, lagi-lagi ibu tidak mengangkatnya. Tadinya, aku ingin menelepon ayah, tapi pasti ayah sedang sibuk dengan 'istri barunya' itu.
Aku memutuskan untuk merekam suaraku di ponsel untuk dikirimkan ke ibu. Kutekan tombol start, dan kutaruh ponselku di sebelah tubuhku.
Aku menutup mataku dan berkata, "Bu, Kala kangen sama Ibu. Kala capek Bu. Kala lelah. Dada Kala sakit banget ..., sesak Bu. Ibu kapan dateng ke sini? Ibu nggak lupa sama Kala 'kan? Bu ... Kala mau hidup tenang."
Tanpa sadar, aku meneteskan air mata hingga membasahi pipiku. Aku membiarkannya dan melanjutkan kata-kataku.
"Bu, rasanya, setiap hari, Kala mau mengakhiri hidup ini. Kala udah tahan sampe puluhan kali Bu. Banyak bekas sayatan pisau di tangan Kala. Haha, lucu 'kan? Kala nahan ini, karena Kala mau ketemu Ibu dulu buat terakhir kalinya. Tapi, Ibu nggak datang. Kalau boleh jujur ... Ibu jahat sama Kala. Tapi anehnya, Kala tetep nungguin Ibu dateng.
Udah cukup sampai sini aja, Kala nunggu Ibu. Terimakasih buat uang yang selalu Ibu kasih. Kala nggak berharap Ibu dengerin rekaman ini. Tapi, kalau Ibu dengar, Kala mau bilang, selamat tinggal Bu."
Aku menekan tombol finish. Tanpa menunggu lama, aku langsung berlari keluar, ke arah danau.
Aku melihat ke arah jam tanganku, yang masih kupakai sejak pulang sekolah tadi. Terlihat, kacanya retak dan hampir pecah, tapi aku tak peduli akan hal itu.
Ternyata, waktu masih menunjukkan pukul enam sore. Setelah berlari sekitar lima menit, akhirnya aku sampai di danau ini. Kulihat matahari, ia memancarkan sinar senja yang indah.
"Apakah ini akhir dari semuanya?" gumamku.
Dengan rasa yang campur aduk; takut, senang, sedih, aku melangkahkan kakiku untuk masuk ke dalamnya.
Perlahan-lahan, air naik hingga menutupi leherku. Sebelum aku benar-benar pergi, aku berkata untuk terakhir kalinya, "Terimakasih Sekala. Kamu sudah menahan semuanya dengan baik. Detik ini juga, kamu bisa lepas dari semua beban yang begitu berat."
Aku menenggelamkan tubuhku di air ini. Rasanya, dingin, sunyi, tenang, sampai aku mulai kehilangan kesadaran.
"WOY SADAR!!" Terdengar samar-samar suara seorang lelaki.
"WOOOYYYY!!! BANGUUNNN!!" sambungnya.
Perlahan, aku membuka mataku, dan memuntahkan banyak air yang tertelan.
TUNGGU! AKU MASIH HIDUP?!
Aku langsung bangun dan memegangi kepalaku yang terasa pusing. Aku melihat ada seorang lelaki yang memakai seragam SMA yang sangat basah, sepertinya ia seumuran denganku.
"Kamuu!! Kenapaa tolongin aku hah?!" teriakku sambil mendorongnya pelan.
"Lo tuh ya, harusnya berterimakasih udah ditolongin. Ini malah teriak-teriak gak jelas," jawabnya.
Aku menangis dan berkata, "Siapa? Siapa yang minta ditolongin hah?! Kamu tahu nggak, seberapa beratnya aku sampe bisa berakhir di sini?"
Dia tidak menjawabnya.
Aku melanjutkan kalimatku, "Tau nggak?!"
"Jangan," katanya singkat.
"Jangan apa?! Bunuh diri?! Ini bukan urusan kamu!"
"Jangan pergi ... Sekala."
Aku terdiam sejenak. Aku tidak tahu kalau ia tahu namaku. Tapi yang pasti,
"... kamu orang pertama yang bilang kalimat itu ke aku," kataku.
Saat itu juga, isak tangis ku pecah. Dia hanya terdiam dan menungguku. Setelah beberapa saat, aku berdiri dan berniat untuk kembali ke dalam danau itu.
"Heh! Lo mau ke mana?!" teriaknya sambil memegangi tanganku.
"Lepas!" Dia tidak melepaskannya.
"Lepasin!!" kataku, lagi.
"Jangan pergi. Gue mohon."
"Nggak! Lepas!!"
Akhirnya tanganku bisa lepas darinya. Setelah itu, aku berlari menuju danau. Terdengar, ia mengejarku sambil berteriak memanggil namaku. Aku tak menghiraukannya dan melanjutkan langkahku.
Sesampainya di tengah danau, saat air danau itu mencapai daguku, aku terdiam sejenak, untuk terakhir kalinya. Aku mohon, aku ingin bebas dari semuanya. Aku pun menenggelamkan tubuhku di air yang dingin ini.
Satu menit ....
Dua menit ....Saat aku mulai kehilangan kesadaran, terasa ada yang memelukku dengan erat. Aku mencoba melepas pelukannya, tetapi tidak bisa. Tenagaku sudah habis, dan kesadaran ku juga sudah mulai hilang akibat menelan banyak air.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Lily
Short StorySaat akan mengakhiri hidupnya, Sekala Falisha bertemu dengan seseorang yang melarangnya untuk pergi dari dunia ini. Dia, Sevalent Alveró, Berkatnya, kehidupan Sekala perlahan mulai berubah. Banyak buket bunga lily yang diberikan Sevalent untuk Sekal...