Tik, tik, tik …, bunyi suara jam dinding membuatku terkejut.
Untuk kedua kalinya, aku kembali tersadar. Aku membuka mataku, lagi. Kali ini berbeda, aku bangun di atas ranjang, di sebuah ruangan yang berwarna biru langit, yang sepertinya ini adalah kamar seseorang.
“Udah bangun?” tanya laki-laki yang tadi menolongku. Ia menghampiriku dan menaruh segelas teh hangat di lemari kecil sebelah ranjang.
“Kenapa?” tanyaku kepadanya.
“Apanya yang kenapa?” Dia kembali bertanya, padahal sepertinya dia sudah tau apa arti dari pertanyaanku itu.
“Kenapa tolongin aku? Aku nggak mau hidup. Aku capek,” kataku, sambil mendudukkan tubuhku di atas ranjang.
“Lo jangan egois. Banyak orang yang masih mau hidup. Banyak orang yang susah payah bertahan untuk bisa hidup lebih lama di dunia ini,” katanya sambil menarik kursi belajarnya ke samping ranjang dan duduk di atasnya.
“Kecuali aku. Aku nggak termasuk orang-orang itu.”
“Kenapa?”
“Bukan urusan kamu.”
Aku bangkit dari ranjangnya dan bergegas untuk pergi dari rumah itu.
“Tunggu!”
“Kenapa lagi?”
“Jangan pergi. Gue mohon.”
Sekarang, ia mengikutiku.
“Terus, aku harus nginep di sini gitu?”
Aku terus berjalan menyusuri lorong, tanpa sadar aku tidak tahu dimana pintu keluar dari rumah ini.
“Bukan kayak gitu. Jangan mengakhiri hidup Lo.”
Aku tidak menghiraukan kata-kata yang diucapkannya kepadaku, aku lalu bertanya padanya, “Ah iya, pintu keluar di sebelah mana?”
“Janji dulu, kalau Lo gak bakal coba-coba buat bunuh diri lagi,” katanya, sambil mengulurkan jari kelingkingnya.
Setelah berdebat cukup panjang dengannya, pada akhirnya aku harus berjanji untuk tidak bunuh diri lagi. Ah iya, Sevalent Alvero namanya. Manusia pertama yang melarangku untuk pergi dari sini. Dari dunia ini.
Keesokan paginya, saat jam istirahat, di kantin sekolah, kepalaku tiba-tiba saja disiram jus jeruk, aku sempat melawannya, tetapi rambutku malah ditarik.
Ya, ini memang sama seperti hari-hari sebelumnya, tapi kali ini ada yang beda. Sevalent. Dia tiba-tiba saja muncul dan menyelamatkanku dari para pembuli itu. Aku kaget melihat dia ada di sini.
Dia tidak berkata apa-apa, hanya membawaku keluar dari kantin, dan meninggalkanku. Aku mencoba mengejarnya untuk mengucapkan terima kasih, tetapi dia berjalan begitu cepat hingga aku kehilangan sosoknya.
Di saat pulang sekolah, aku melihatnya sedang memakai helm di parkiran motor, tanpa menunggu lama, aku langsung menghampirinya.
“Hai, Val,” sapaku.
“Eh, Kala. Kenapa?”
“Makasih ya. Yang tadi.”
“Santai aja, Kal.”
“Kamu tadi kenapa langsung pergi?”
“Ah, tadi ada urusan mendadak. Maaf.”
“Oh iya, nggak apa-apa. Kalau gitu, aku duluan ya, Val.”
“Eh tunggu! Ini … buat Lo,” katanya sambil menyerahkan buket bunga lily putih.
Aku bingung, mengapa ia memberikan bunga lily kepadaku. Aku berkata, “Ini … buat aku?”
Ia mengangguk.
“Kenapa?”
“Nggak apa-apa sih, cuma mau ngasih aja.”
“Hm, okey. Makasih lagi.”
“Iya. Mau gue anterin nggak?”
“Nggak usah. Aku bisa sendiri.”
“Okey, aku duluan,” katanya sambil tersenyum, melambaikan tangannya, dan pergi menggunakan motornya.Entah kenapa, dia terlihat sangat pucat hari ini.
Tanpa menunggu lama, aku pun pulang ke rumah.
Besoknya, kejadian bully itu terulang lagi. Dan sekali lagi, Sevalent menyelamatkanku dan memberiku bunga lily. Tapi kali ini, bunga lilynya berwarna kuning.Aku sempat berkali-kali menanyakan padanya, apa arti dari bunga lily itu. Mengapa dia memberiku bunga lily?
Di hari berikutnya, saat aku dikunci di toilet, lebih tepatnya, saat aku dibuli lagi, ia tidak datang. Karena Sevalent tidak masuk sekolah pada hari itu. Begitu juga besok-besoknya. Ia tak sekolah satu minggu ini.
Namun, hari ini, ia masuk sekolah. Terlihat ia sedang membaca mading sekolah yang ada di koridor. Aku menghampirinya.
“Val!” teriakku.Ia menoleh padaku, dan tersenyum lebar. Sepertinya ia sedang gembira hari ini.
“Kamu kemaren kemana aja? Kok nggak masuk?” tanyaku langsung.
“Oh, kemarin-kemarin gue ada urusan. Em, sebenarnya, gue mau ngomong sesuatu sama lo.”
“Ngomongin apa?”
“Ayo ke sana,” katanya, sambil mengajakku ke taman belakang sekolah.Ia mengambil buket bunga lily putih di belakang pot bunga yang sepertinya sudah ia siapkan.
Ia berjalan ke arahku dan berkata, “Gue nggak nyangka bakal lakuin hal ini, Kal.”
Aku bingung dan tak tahu berkata apa.
“Sekala Falisha, gue suka sama Lo. Sebenarnya, dari pertama masuk sekolah ini, gue udah suka sama Lo. Gue suka banget, Kal. Tapi, gue minta maaf banget. Dari dulu, gue pengen bantu Lo dari para pembuli itu, tapi gue nggak suka.Gue nggak suka berantem, Kal. Gue nggak suka sama keributan. Maaf … gue emang pengecut. Kalau Lo nggak keberatan, Lo mau nggak jadi pacar gue?” katanya sambil menyerahkan bunga itu padaku.
“Hah?” Sekarang, aku benar-benar kaget dan tidak bisa berkata-kata. Sepertinya, wajahku sekarang sudah semerah tomat.
“Lo mau nggak jadi pacar gue? Tapi, kalau nggak mau juga nggak apa-apa, Kal. Gue nggak maksa,” katanya, sekali lagi.
Aku mengangguk mengiakan, sembari mengambil buket bunga lily itu. Entah kenapa, hatiku tiba-tiba membiarkan dia untuk masuk ke dalam hidupku.
“Makasih, Kal. Dan, maaf ya. Gue nggak bakalan bisa temenin Lo sampai akhir,” katanya sambil tersenyum. Senyum itu … aku pernah melihatnya, tapi aku tak tahu apa artinya.
“Maksudnya?”
“Nggak apa-apa. Ayo, masuk. Udah bel,” katanya sambil menarik tanganku dan berlari menuju kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Lily
Short StorySaat akan mengakhiri hidupnya, Sekala Falisha bertemu dengan seseorang yang melarangnya untuk pergi dari dunia ini. Dia, Sevalent Alveró, Berkatnya, kehidupan Sekala perlahan mulai berubah. Banyak buket bunga lily yang diberikan Sevalent untuk Sekal...