- 3 -

2 2 0
                                    

Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Sudah 5 bulan, kami berpacaran. Dan sejak kami berpacaran, aku tidak dibuli lagi. Aku merasa sangat senang bersamanya.

Ternyata, Sevalent itu sangat baik, asik, lucu, dan keren. Dari kecil, ia tinggal sendirian. Orang tuanya sudah tiada. Sedangkan hidupnya, ditanggung oleh paman dan bibinya yang ada di luar kota.

Ia terlihat sangat kuat. Ia bisa menahan semuanya sendirian. Tidak sepertiku, yang sedikit-sedikit mengeluh. Yang selalu ingin mengakhiri hidup, dan yang selalu menyerah.

“Ini buat Sekala Falisha, bulannya Valent,” katanya sambil menyerahkan bunga lily merah.
    
“Bulan?”
    
“Iya, bulan. Lo itu kayak bulan Kal. Lo hidup sendirian di tengah dunia yang gelap. Tapi, setiap kali gue liat Lo, Lo itu selalu bersinar terang kayak bulan, dan Lo selalu jadi sinar buat hidup gue,” katanya sambil tersenyum manis.

Aku hanya bisa tersenyum kecil mendengar itu, dan berkata, “Aku boleh tanya sesuatu nggak?”
    
“Boleh, mau tanya apa?”
    
“Kamu udah ngasih aku banyaaak banget bunga lily. Makasih banyak ya, tapi aku mau tahu, apa arti dari bunga itu, Val?”
    
“Bunga lily itu cantik, kayak Lo. Dan, bunga lily itu adalah bunga pertama dan yang terakhir bunda kasih buat gue,” katanya sambil menunduk.
    
“Val.”
    
“Hm?”
    
“Jujur, kamu itu baiik banget. Kamu hebat, Val. Kamu bisa melalui semuanya sendirian, dari kecil sampai sekarang. Kamu nggak kayak aku, nggak banyak ngeluh buat ngejalanin hidup.

Kamu selalu semangat untuk terus hidup. Aku belajar banyak hal tentang hidup dari kamu, makasih ya Val. Makasih banyak. Makasih buat semuanya.” Entah kenapa air mataku menetes begitu saja.
    
Ia tersenyum mendengarnya, “Gue nggak sehebat yang Lo kira, maaf. Gue juga pernah ngeluh, Kal. Gue capek banget. Gue kangen sama orang tua gue,” katanya sambil menunduk lagi. Ia terlihat sangat sedih mengatakan hal itu.
   
“Aku juga kangen sama ibu, Val.”

Akhirnya tangisku pecah saat itu juga, di bangku taman, bersama Sevalent. Ia tidak berkata apa-apa, hanya merangkul pundak ku, dan menunggu.
    
Aku mengusap air mataku dan berkata, “Nangis aja, Val. Jangan ditahan, sakit tahu.”
    
Ia tertawa kecil, “Gue udah capek nangis, Kal. Gue mau tahan aja, sampai semuanya berakhir.”
    
“Vaal jangan bilang kayak gitu. Aku tahu arti dari kalimat itu.”
    
“Iya-iya, sekarang Sekala udah pinter ya?”
    
“Dari dulu kali.”
    
Kami tertawa bersama sore itu. Kami meratapi jalan hidup masing-masing yang penuh dengan lika-liku. Kami menatap langit, ia memancarkan sinar senja yang sangat indah. Seakan-akan, memberikan semangat bagi kami untuk hidup lebih lama lagi.
    
Besoknya, Sevalent tidak masuk sekolah. Aku khawatir dengannya. Aku mencoba untuk meneleponnya, tapi handphone-nya tidak aktif. Saat pulang sekolah, aku pergi ke rumahnya, tapi rumahnya tampak kosong. Lampu terasnya juga belum dimatikan sejak kemarin. Sebenarnya kamu kemana, Val?
    
Sudah seminggu berlalu, dan … tidak ada kabar darinya. Aku sangat takut. Aku tak tahu harus berbuat apa. Saat hendak berangkat ke sekolah, tiba-tiba saja ada telepon masuk. Aku tidak tahu itu nomor siapa, tapi tetap ku angkat.
   
“Halo?”
   
“Dengan Sekala Falisha?”
   
“Iya, kenapa ya?”
   
“Saya dari rumah sakit Cahaya, ingin memberi tahu, bahwa Sevalent Alvero baru saja meninggal dunia. Saya menelepon Anda, karena Anda adalah orang terakhir yang dihubungi oleh Sevalent.”
    
Seketika, aku terjatuh lemas di atas lantai yang dingin. Aku tak bisa bernapas. Air mataku mengalir begitu deras. Aku tak bisa menjawabnya lagi.
    
“Ini … mimpi ‘kan?” gumamku.
    
“Bangun Sekala. Bangun. Ini cuma mimpi. Ini cuma mimpi.”

Aku mengatakan kalimat itu berulang kali sembari menampar pipiku dengan keras. Rasanya … sakit. Dan aku harus menerima kenyataan bahwa ini bukanlah mimpi. Dengan tubuh yang lemas, detak jantung yang tidak beraturan, dan napas yang tersengal-sengal, aku berlari ke arah jalan raya, dan mencari taksi untuk pergi ke rumah sakit Cahaya.
    
Sesampainya di sana, aku diberi tahu bahwa Sevalent ada di ruang ICU. Aku berlari kencang di koridor dan membuka pintu ruangan ICU dengan tangan yang bergetar.

Aku melihat seseorang yang tertidur di atas kasur dan ditutupi oleh selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
    
“Val?” kataku lemas. Aku mencoba untuk membuka selimutnya, dan melihat wajahnya. Ternyata dia pacarku, Sevalent Alvero.
    
“Val … jangan tidur di sini. Ayo keluar, Val. Aku takut.”

Air mataku terus mengalir hingga menetes tepat di pipinya Sevalent. Aku terus menggoyangkan badannya, berharap agar ia bisa bangun, membuka matanya, dan tersenyum lagi padaku.
   
“Vaal please, aku takut. Val! Vaal! Sevalent Alvero! Bangun! Ini Kala. Sekala Falisha, bulannya Valent. Bangun Val. Bangun ….”

Aku terjatuh dan terduduk di atas lantai. Aku terus menangis hingga perawat datang. Aku menanyakan padanya, “Sus, Sevalent … dia meninggal karena apa?”
    
“Sevalent kanker ginjal dari kecil, Kak. Kakaknya yang sabar ya,” katanya, sebelum meninggalkan ruangan ini.
    
“Kenapa kamu nggak bilang, Val? Kenapa?”
    
Aku mengelus kepalanya, dan berkata, “Makasih banyak Val. Makasih banyak anak baik. Makasih … buat semuanya. Makasih telah tumbuh dengan baik.

Sekala sayang banget sama Valent. Kala pengen terus jadi bulannya Valent. Kala mau … terus bareng sama Valent. Tapi ternyata, takdir berkata lain. Sekarang, Val bisa ketemu sama orang tua Val lagi. Selamat ya, Val.”

Aku tak bisa berhenti menangis. Rasanya, tubuhku hancur berkeping-keping. Aku tahu, Sevalent pasti punya alasan untuk tidak memberi tahu padaku, tentang penyakit yang dideritanya.
    
Aku menarik kursi yang ada, dan duduk di sebelahnya. Aku mencoba untuk memeluknya.
    
“Dingin,” gumamku.

“Perasaan, kamu itu hangat banget kalau aku peluk, Val,” sambungku.
    
Aku menggenggam tangannya yang juga terasa dingin. Saat aku menundukkan kepalaku, aku melihat ada sepucuk surat yang ditaruh di saku bajunya. Saat aku ambil, ternyata ada kunci juga di sakunya. Aku segera menaruhnya di sakuku. Aku tak sanggup kalau harus membacanya sekarang.
    
“Val, nanti kalau aku tidur, kamu harus sering datang ke mimpi aku ya. Aku beneran tunggu kamu.”

The Last LilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang