Di bawah hujan rintik-rintik, seorang wanita berlari tanpa alas kaki, membiarkan telapak kakinya bertemu langsung dengan aspal yang berlubang, sesekali terpeleset hingga lecet dan berdarah. Sepanjang jalan melewati lorong-lorong sepi tanpa cahaya untuk mencari selamat.
Lelah dan kehabisan nafas hingga akhirnya wanita itu bersembunyi diantara celah tembok bangunan tua bekas toko besi di pasar yang tak lagi beroperasi. Kinanti menyesali tubuhnya yang jarang berolahraga dan tidak memiliki fisik yang kuat.
"Itu dia!"
Suara pekikan seorang laki-laki yang tadi mengejar Kinanti terdengar seperti pecut yang mematikan. Laki-laki yang menjadi alasannya berlari—, dan alasannya saat ini kembali berjuang untuk melarikan diri. Dia dipaksa lagi, memaksimalkan fungsi tubuh yang sudah mulai lemah setelah seharian bekerja lembur.
Ini sudah kali kelima selama dua tahun terakhir Kinanti terpaksa berpindah-pindah tempat tinggal, demi melindungi Harsa dari komplotan penagih hutang ayahnya. Kontrakan yang ia tinggali sekarang cukup nyaman dan murah, terlebih—, Kinanti memiliki tetangga baik hati yang selalu bersedia ikut membantu merawat Harsa.
Malam ini, Kinanti tidak boleh kembali tertangkap, atau dia harus kembali mencari tempat tinggal yang belum tentu senyaman dan semurah kontrakan sekarang.
"Aaaww," desis Kinanti pelan, ketika gelapnya malam membuatnya menabrak tumpukan barang tak berarti di jalan. "Sial."
Wanita itu hendak kembali memulai langkah, sebelum tiba-tiba pelukan kuat dia dapatkan dari arah belakang.
"Kena kauuu, dasar wanita belut, licin kali tubuh kau itu!"
Suara serak dan bau alkohol yang kuat menyapa indera penciuman Kinanti, menusuk ke dalam hidung yang membuatnya ingin muntah. "Lepasin gue, Brengsek!" teriak Kinanti, tangan dan kakinya bekerja sama melepaskan diri.
"Lo pikir semudah itu, Esmeralda?! Hah?! Bayar dulu hutang-hutang bokap lo!"
"Gue nggak punya duit, dan gue udah sering bayar hutang ghoib yang kalian maksud selama ini!"
Hutang pada renteiner seperti lintah darat yang siap menyedot darahmu habis-habisan. Bahkan ketika seluruh hutang sudah dibayar, bunga akan tetap terus berjalan. Kinanti tidak sudi lagi membayar, toh hutang ini milik Harun—, ayahnya yang suka judi dan main perempuan setelah kematian mamanya.
"Jangan gila dooong, hutang Bapak kau banyak, nggak bisa dibayar dengan cicilan satu juta perbulan."
Kinanti membenci aroma itu, mulut laki-laki berambut kuning seperti jagung itu tepat berada di belakang leher, sesekali menempelkan bibir manyunnya ke kulit Kinanti, bahkan tangan laki-laki itu tak tinggal diam mengambil kesempatan pada tubuhnya.
"Lepasin guee!" pekik Kinanti, berniat meminta tolong pun terasa percuma karena mereka berada di bangunan pasar yang sudah tak lagi beroperasi.
Sialnya ia memilih jalan pintas untuk pulang ke kontrakan setelah bekerja sebagai buruh pabrik pakaian dalam wanita. Sialnya juga—, yang memutuskan mengambil lembur sampai malam hanya demi mendapatkan uang yang lebih banyak.
"Lo cantik banget, Sayang. Meskipun lusuh dan lepek, kenapa lo nggak mau jadi gundik Si Bos?"
Beberapa kali tawaran itu datang, tapi Kinanti menolak. Tidak banyak yang Kinanti ketahui tentang Bang Bonar, seorang laki-laki berpawakan gendut dan menyeramkan, memiliki tato di seluruh tubuh, Sang Ketua genk preman yang digunakan sebagai alat untuk mencari Kinanti.
"Dia nggak punya duit," jawab Kinanti.
"Dih, kata siapa?"
"Kata gue."