BAB 3 - Pertemuan Pertama (2)

452 47 1
                                    

Di bawah lampu gemerlap, musik yang bertalu-talu, Kinanti berjalan sambil membawa nampan di tangan. Rok mini-nya sangat mengganggu, sesekali wanita itu menurunkan ujung rok untuk menutupi paha, tetapi setiap kakinya melangkah, ujung rok itu akan kembali tersingkap naik.

Kinanti risih.

Memang benar, ada pengawal yang bertugas menjaga para pelayan wanita, tapi pelecehan tidak hanya terjadi karena ulah tangan jahil, melainkan bisa hanya dengan sekedar tatapan mata yang terang-terangan mengamati, atau suara-suara iseng yang jelas merendahkan wanita.

"Kii, table delapan minta extra ice ya," ucap teman satu tim yang belum Kinanti hafal nama.

"Oke, Kak."

Satu minggu Kinanti menerima tawaran pekerjaan dari Bang Roy, dengan iming-iming gaji yang jauh lebih besar. Dia masuk ke dalam tim yang bertugas melayani meja lima sampai sepuluh. Meskipun sesekali mereka tetap harus membantu tim lain yang ramai, prioritas tugas hanya di table yang masuk dalam tanggung jawab. Kinanti bekerja di bawah kendali Bang Roy—, tetangga Kinanti yang terkenal pendiam, tapi hartanya banyak karena ternyata bekerja di tempat hiburan malam.

"Kii, meja VIP lagi butuh orang lagi, table VIP satu minta tambahan vodka, ya."

"Tapi gue anak baru, Kak." Seingatnya, karyawan baru belum boleh melayani tamu VIP.

"Cuma nganter minuman doang, gue lagi ngurusin meja VIP dua yang rewelnya minta ampun," keluh salah satu teman pelayan wanita—, kalau tidak salah namanya Rere.

"O—oke, deh."

Terpaksa, Kinanti menyanggupi karena malam ini, tamu sangat penuh. Ia membawa pesanan ke meja tamu VIP, meja yang terlihat lebih remang dan—, eksklusif, terlihat dari tempat itu yang berada di paling ujung, jauh dari keramaian. Beberapa pengawal berbaju hitam hanya berdiri di sudut, mengawasi dua laki-laki yang duduk di sofa melingkar dengan masing-masing perempuan berpakaian seksi di sampingnya. Meskipun baru hitungan hari dalam bekerja di tempat ini, Kinanti sudah pandai menilai siapa-siapa saja tamu yang datang. Dan meja yang ia datangi kali ini, disewa oleh orang yang jelas bukan sembarangan.

"Selamat malam, saya mengantar pesanan satu botol vodka ekstra cranberry."

Uraian tugas pelayan wanita wajib menyapa tamu dengan senyum terbaik, entah bagaimanapun kondisi hati, rasa sakit yang mungkin menyiksa, senyum tetap harus terpampang nyata. "Apa ada yang bisa saya bantu lagi?"

Kinanti meloloskan nafas panjang setelah menyelesaikan kalimatnya. Senyum menyempurnakan penampilan ramah dan centil yang sengaja ditekankan. Kinanti meletakan nampan di depan dada, gerakan tubuh tanpa sadar untuk melindungi diri dari tatatapan liar sepasang mata yang terang-terangan mematri ke arahnya.

Laki-laki berpawakan hitam yang duduk di tengah dengan satu kaki bersila menarik perhatian Kinanti. Jelas, bola mata itu memiliki arti berbeda. "Apa ada yang bisa saya bantu lagi, Tuan?" tawar Kinanti lagi, berusaha mempertahankan kesopanan seperti pada tamu-tamu lainnya.

Laki-laki bermata hitam segelap jelaga dan alis tebal itu menarik punggungnya lalu duduk tegap. Kedua kakinya diturunkan ke lantai, tepat berada di bawah lampu memperjelas visualisasi yang sebelumnya samar-samar. Kinanti menemukan ada bekas luka memanjang di dahi sampai pipi, dan juga beberapa bekas luka lain di sekitar wajah. Tato yang mengintip melalui kerah kemeja menambah kesan garang, terlebih—, laki-laki di hadapannya memiliki bola mata besar gelap yang langsung bisa menekan di awal kedua mata mereka bertemu.

Satu tangan laki-laki itu terulur, lantas mengambil gelas kosong di meja. "Tuangkan minuman ke dalam gelasku."

Helah nafas panjang kembali dilepas, Kinanti tidak diperbolehkan menolak permintaan tamu. Tanpa menunda, wanita itu berjongkok di dekat meja, tangannya sesekali memperbaiki letak rok pendek-nya yang tersingkap naik. Gerakannya tak nyaman, karena meskipun tidak melihat secara langsung, Kinanti sadar dirinya sedang diperhatikan.

AFTER (we meet again)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang