PROLOG

16 3 2
                                    

Dibawah sinar rembulan, sayup-sayup kudengar suara bapak, ibuk, dan Mas Wisnu. Kita tengah berkumpul bercanda ria beralaskan tikar diatas tanah yang tak rata dan cahaya penerangan dari lampu uplek (lampu yang berbahan bakar minyak tanah). Berulang kali Mas Wisnu menaburkan garam diatas singkongnya.

"Mas, Kara ga suka singkong," keluhku sembari melumat singkong itu di atas mangkok.

"Kara ga boleh bilang gitu, bersyukur kita bisa makan!" omelnya sembari menjewer kupingku.

Lalu bapak berjalan ke arah dapur dan mengambil setoples gula. Bapak merelakan gula kopinya untukku, lalu bapak mencampur singkong ku dan gula.

"Nih! ngene wes dadi getuk lindri sederhana gawe anak wedokku," ujarnya dengan nada riang namun terdapat selipan perasaan sedih.

Mataku berbinar lalu mulai menyantap makanan sederhana itu. Ibuk terus batuk, semenjak ia sakit, Ibuk jadi jarang bantu bapak di sawah.

"Sesuk, awak dewe nang Yakkum yo buk?" pinta Mas Wisnu sembari menyodorkan air putih ke ibuk.

Ibuk menolak, namun sayup-sayup adzan Isya terdengar. Selepas itu tak ada sosok hangat berwajah cerah lembut lagi, aku hanya melihat Mas Wisnu menggoyangkan badan Ibuk yang terbujur kaku di atas kasur. Bapak pingsan, ia berulang kali mengelus dada dan menangis histeris. Ingatanku perlahan pulih.

***

Seketika, pandangan mataku buram. Aku berusaha mencari remang cahaya ketika ku dapati tubuhku berada diatas sebuah kursi. Bajuku basah kuyup, sebuah alat setrum listrik dimatikan. Pria berkumis yang amat kukenal itu, menyunggingkan senyuman.

"Dimana jiwa pemberontakmu itu?"

Aku meludah kearah lain, mungkin kalau ku diberi kesempatan oleh Tuhan aku akan meludah di wajahnya yang penuh hina. Dan belum selesai pria itu berbicara, segerombol pria bermasker hitam dan bersenjata membuka pintu besi ruangan ini dengan paksa.

"Berdiri semua! clear area!"

Mata pria yang menyiksaku seketika terbelalak, ia berdiri tegap. Beberapa pria itu mengikat tangan kecilku dan menutup mata ku. Mereka membawaku paksa di sebuah mobil Jeep yang bau, bau anyir darah. Mereka membawaku ke daerah tebing-tebing di pinggir kota Yogyakarta. Kami berjalan keluar seperti hendak ke suatu dataran yang lebih tinggi, itu lah yang kukenal mengenai tempat itu. Mereka mengendarai mobil itu dengan kecepatan tinggi. Bau cerutu memenuhi langit-langit mobil, aku berusaha menunduk mengarahkan hidungku ke kerahku. Tiba-tiba seorang pria dengan bekas luka di ujung bibirnya berbicara ke arahku.

"Kau adik Wisnu kan?"

Aku tak menjawab, bibirku masih terasa getir darah. Aku hanya bergeming sembari terus menutup hidungku dengan kerahku.

"Apa perasaan mas mu kalau melihat adiknya menjadi seorang pemberontak?"

Mataku memanas, tak sadar air bening mengalir deras di pipiku. Mereka tertawa, hingga sampai lah kita di sebuah tempat. Kudengar desir ombak dan kicauan burung camar. Mereka membawaku turun dari mobil, perlahan kain merah di mataku dilepas. Kulihat, kakak-kakak seniorku penuh luka menunduk diatas lutut. Dari beberapa yang kulihat, banyak dari mereka yang telah terkulai lemas biru. Aku menatap semua ini dengan getar hati dan air mata. Perlahan peluru dilepas mengarah ke kepala dan dada mereka. Aku hendak menjerit, namun pria di belakangku menahanku. Rasanya jiwa ini terbakar malu dan sedu. Perlahan tubuh ringkih mereka di tendang ke hamparan laut biru luas.

"Pak jangan, mereka punya keluarga pak!"

Aku menjerit dengan suara parau lemah. Hingga laki-laki berambut keriting, dengan kacamatanya yang telah pecah ditendang, dipaksa duduk di depanku. Aku menatap wajah itu, Arthur tersenyum dengan wajahnya yang penuh luka. Walau air kental merah amis terus mengalir dari pipi dan mulutnya, ia mengucapkan sepatah kata dengan bibir indahnya yang robek. Rambutnya yang sering ku protes karena persis seperti sarang burung walet, ditarik hingga ia mengangkat pandangannya tepat di wajahku.

"Sampaikan ke mami, aku sibuk kuliah."

Suara tembakan terdengar, peluru bundar menembus kepala dan dada Arthur. Aku menjerit, melengking hingga ke udara. Hingga aku merasa kehilangan kesadaran, sebuah balok kayu menghantam leherku.

***🌊Hancur🌊Harapanku perlahan memudar pergiBinar mata itu telah tertelan gulita takdirDesir ombak menjadi saksiTetes Darah menjadi bukti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***
🌊Hancur🌊
Harapanku perlahan memudar pergi
Binar mata itu telah tertelan gulita takdir
Desir ombak menjadi saksi
Tetes Darah menjadi bukti

Deru nafas membuatku tersadar
Lamunan terbuyar hingga ke dasar
Panas api di dada terus berkobar
Akan janjiku ke mereka yang ingkar

Meja RapatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang