"Sudah kuduga kamu bakal mau, kamu kan plin-plan, a-aduh!"
Arthur menjerit kesakitan, aku mencubit perutnya lalu memalingkan wajah. Arthur tertawa kecil, lalu ia mengikuti langkahku. Sampai saat kita tiba di depan ruangan besar. Arthur mengangguk ke arahku lalu membuka pintu kayu jati itu, deritnya memenuhi ruangan yang cukup sepi. Semua mata mengarah kepada kita, salah satu laki-laki di depan yang tengah berdiri menopang tubuhnya di meja tersenyum.
"Ah! Arthur, sini masuk," ujarnya.
Kita melangkah masuk di ruangan berdinding putih terang. Aroma kopi dan buku-buku tua merambat menyapa hidungku, ini adalah salah satu aroma yang membuatku nyaman. Laki-laki yang tadi menyapa kita langsung meminta kita berdiri di sandingnya.
"Para hadirin sekalian, kita memiliki anggota baru, silahkan berkenalan," pintanya.
"Halo semua selamat siang, khususnya untuk kakak senior terhormat, nama saya Arthur Tri Putra dan teman saya," beber Arthur lalu lanjut menyikut lenganku.
Aku sedikit berdehem lalu melanjutkan kalimat Arthur, "Nama saya Hengkara Widodari, saya dari jurusan sastra indo—"
Arthur terbelalak mendengar kalimatku, jujur aku juga kebingungan. Ku tatap wajahnya dengan heran, seperti mereka yang tengah duduk mengitar di meja oval, atmosfer terasa canggung. Tiba-tiba mereka tertawa, aku merasa malu. Pipiku terasa panas, Arthur berusaha menahan tawa.
"Haha, kita semua disini jurusan sastra, dan kenalin namaku Satria Bagus Cahyono," ujarnya sembari tersenyum.
Wajahnya terlihat berapi-api. Kurasa ia memiliki semangat yang tinggi. Alisnya yang tebal dan kulit sawo matangnya dapat membuatku menerka bahwa ia berasal dari daerah Jawa Timur. Beberapa anggota aktivis mulai memperkenalkan diri satu-satu. Namun nama-nama yang kukenal hanya sedikit. Lastri, Dian, Heru, Asa, dan Mas Imron. Mereka berasal dari jurusan yang sama mupun berasal dari sastra jawa—karena yang lain berasal dari sastra asing. Aku dan Arthur dipersilahkan duduk menempati kursi kosong, banyak sekali sampah kertas yang menumpuk. Namun, tiba-tiba jendela bertirai coklat tersibak. Awan semakin menghitam pekat, terdengar badai merengek dengan suara angin yang menakutkan. Gelap, aku takut jemuran di kos belum diangkat ibu kos baik hati itu. Pembahasan pun semakin intens dan sukar untuk kucerna.
"Seperti yang kalian tau, daerah-daerah yang kemarin telah digunakan untuk latihan tempur, gagal panen besar-besaran karena tanah yang telah mereka bajak habis diinjak-injak aparat."
Mas Satria mulai menuliskan nama-nama daerah di papan tulis menggunakan kapur, beberapa debu kapur jatuh mengotori lantai.
"Organisasi Bima bersama organisasi aktivis lain di Universitas Gadjah Mada akan datang ke sini," ia mengarahkan kapur di tangannya dan mengetuk-ketuk nama suatu wilayah.
"Blangguan?" bisikku ke telinga Lastri.
Lastri gadis yang memiliki rambut ikal dan panjang dan bando putih di rambutnya itu mengangguk, ia membeberkan bahwa disana kita akan melakukan aksi tanam jagung paksa. Aku membulatkan mulut, aku bersandar di kursi. Walau aku masih baru di organisasi ini, namun aku paham mengenai gerakan-gerakan aktivis sebelumnya, yang dalam tanda kutip gagal. Semua itu karena kegiatan mereka yang selalu bocor, entah oleh siapa. Aku mengangkat tangan, lalu bertanya.
"Mas Satria, selama ini kegiatan ini kan selalu gagal? apa kita ngga sebaiknya kita mencari metode lain selain datang bersembunyi?"
Semua mata menyorot padaku, aku dengan berani terus mengangkat pandangan. Mas Satria tersenyum lalu mengambil secarik kertas, ia meletakkannya diatas meja.
"Aku suka semangatmu Hengkara," ujarnya sembari kembali menggerakkan kapurnya.
Suara decit kapur pun berhenti setelah ia menulis kalimat panjang. Aku membacanya, Bima umpetan ing beksan pari.
"Ini adalah metode kita, selain kita akan datang dengan menghimpun seluruh organisasi, kita gunakan metode BUBP atau Bima umpetan ing beksan pari."
Mba Dian, seorang gadis dengan rambut pendek dan berpenampilan tomboi itu menambahkan. Ia berdiri mengambil posisi dan menempelkan kertas lebar ke papan tulis.
"Seperti yang Satria bilang, kita gunakan metode ini, yang sastra jawa pasti akan tau artinya, ada yang tahu?" tanyanya sembari menyilangkan kedua lengannya.
Asa mengangkat tangannya, "Bima bersembunyi di tarian padi."
Aku ternganga, maksud dari kalimat ini apa? Mba Dian kembali menambahkan.
"Kita akan sembunyi lewat sawah, padi-padi ini akan membuat mereka terkecoh, karena padi-padi ini tentu akan terhembus angin akibat hujan, karena jalur lain telah di lewati organisasi aktivis lain, kita akan lewat..." ia berhenti untuk mengambil kapur di tangan Mas Satria.
Ia menulis sebuah nama daerah yang amat kukenal. Halaman asri penuh pohon jadi dan jalanan yang amat buruk.
"Alas Pati," sambung Mba Dian.
Arthur mengangkat tangannya, "Kenapa harus disana mba? bukannya daerah lembah susah sinyal? kita kan butuh komunikasi antar organisasi."
Mba Dian tersenyum, "Justru itu bagus, para aparat dan para bawahan rezim tidak akan bisa melacak kita, dengan ini kita memiliki persiapan yang matang sebelum ke Blangguan, untuk biaya transportasi dan lain-lain kita sudah tentukan dan persiapkan sebelumnya."
Semua yang ada di ruangan terdiam, beberapa dari mereka mencatat yang diperlukan untuk kedepannya,dan setelah 1 jam lamannya akhirnya rapat selesai.
![](https://img.wattpad.com/cover/367323592-288-k422472.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Meja Rapat
Ficção HistóricaDear diary, tahun-tahun berat yang ku jalani sebagai mahasiswa, Terlebih lagi saat Arthur mengajakku menjadi aktivis. -Yogyakarta, 01-1991 Dear Diary, sebenarnya ku tak mengharap ini semua, janji manisnya hanyalah sebuah omong kosong belaka. -Semara...