Bab 1. Angsle Hangat

8 2 0
                                    

Yogyakarta, 01-1993

***

"Presiden Soeharto mengumukan beberapa poin penting,"

"Lik! Lik! ganti lik!"

Arthur sang laki-laki berkacamata dan rambut keriting itu reflek meminta penjual angsle di depan kita untuk mematikan radio burik dan tua itu. Arthur menyalakan cerutu yang ia bawa sembunyi-sembunyi dari maminya dan mulai menghisap dan menghembuskan kepulan asap. Jujur aku sedikit terganggu, langsung ku menutup hidungku dengan lengan panjang jaketku. Kita berdua tengah menikmati angsle di tengah malam. Yogyakarta, kota istimewa katanya? benar jika engkau tak bertemu klitih.

"Haduh, makin ra jelas blas iki tugase Pak Mawardi."

Ia mendumel sembari membolak-balik kertas kosong, aku hanya terdiam. Kami sama-sama dari kota Purwodadi, Grobogan. Entah apa yang orang tua Athur bayangkan bisa memberikannya sapaan dengan nama yang sulit dieja bagi masyarakat Grobogan. Arthur Tri Putra, anak ketiga dari 5 bersaudara sesuai namanya, dan teman pertama yang ku jumpai saat ku duduk di bangku putih biru.

"Hey Kara, mengapa kau diam saja? jangan bilang tugas ga jelas ini sudah kamu kerjakan?"

Aku tertawa, mengangguk. Tentu aku juga bingung dengan bapak yang memberikanku nama Kara, disaat nama Sri, Putri, Dwi sangat awam dan sederhana digunakan oleh rakyat Grobogan. Hengkara Widodari, ah sungguh nama yang sangat unik. Widodari berarti bidadari, aku memiliki nama yang sangat unik di antara semua mahasiswa di kampus. Arthur mulai menuliskan beberapa guratan kasar di atas kertas putih suci. Aku mengaduk-aduk angsle hangat di hadapanku sama seperti perasaanku. Namun tiba-tiba Arthur berhenti menulis lalu menoleh kearahku.

"Kara, kemarin aku ketemu salah satu senior," ujarnya.

Suara deru mesin mobil datang, dan bau bahan bakar solar tercium, berhenti tepat di sebelah tenda angsle ini. Aku menoleh kearah sumber suara, sebelum Arthur kembali melanjutkan kalimatnya.

"Mereka nawarin kita, buat ikut gerakan aktivis mahasiswa,"

Sontak aku menggebrak meja, membuat Arthur dan paklik angsle terkejut, "Aku wes ngomong, aku gamau ikut kayak gitu! aku ini di kuliahin mas ku biar jadi orang!"

"T-tapi kamu tahu sendiri kalau pak Soeharto sudah lama duduk di kursi empuk itu! beliau dan rezim tikus itu juga sering menindas rakyat kecil! kamu ga inget ibukmu meninggal gara-gara ini semua!? ini saatnya kita membela tanah air kita Kar!" sambungnya.

Aku merasa geram lalu mengangkat gelas angsleku dan mengarahkannya ke Arthur.

"Diam! atau aku tumpahkan angsle panas ini ke mukamu!? aku sudah bilang! mereka itu berkuasa! kita hanya rakyat kecil tak akan mampu Thur!"

Arthur reflek terdiam dan berhenti berbicara, ia kembali menulis di atas kertas. Aku yang masih kesal mulai menyeruput angsle di hadapanku, walau kepulan asap dan kuahnya terasa panas. Sesaat, aku mendengar suara tawa keras dan kasar dari arah luar tenda.

"Thur,"

"Hm?"

"Arthur!!"

"Opo re!?"

Arthur tak menghentikan aktivitasnya, ia hanya membalas singkat panggilanku. Sorot mataku mengarah ke seseorang tinggi berpakaian rapi, berambut cepak. Arthur dan aku mengangkat pandangan kita, namun segera menunduk merinding karena mereka adalah sekelompok anggota. Anggota berjaket hitam dan berseragam loreng itu beberapa dari mereka tertawa keras dan menarik kursi yang berdiam diri sedari tadi. Aku mengkode Arthur untuk segera beranjak pergi, karena sungguh aku hanya mengenakan gaun tipis putih dan jaket bekas peninggalan ibuk sehingga aku merasa tak nyaman. Arthur mengangguk, namun sebelum kita bangkit dari kursi, seorang pria yang mungkin berusia lebih tua dari anggota-anggota tadi menegur kita.

"Heh, kalian mau kemana?"

Kaki Arthur terlihat bergetar. Ia membetulkan posisi kacamatanya yang padahal sedari tadi berdiam diri di pangkal hidungnya dengan tepat.

"K-kita mau pulang pak,"

"Jangan, duduk."

Reflek, aku dan Arthur duduk meluruh diatas kursi kayu. Mereka menatap kita, pria itu mulai berbicara dengan suara bariton dan tubuh kekar itu.

"Kalian kuliah jurusan apa?"

Aneh, ia bisa menebak kita adalah anak kuliahan. Apakah itu karena kita memancarkan aura mahasiswa, atau karena tubuh kita yang ringkih, kurus, dekil yang hanya makan nasi dan garam di kos?

"Sastra Indonesia pak,"

Aku menjawab dengan nada pelan, pria itu mendekat lalu berbicara dengan logat yang kita kenal.

"Haha! emange iso dadi opo nek mlebu kono? penulis? ga ono masa depane le, nduk."

Sok tahu! emang anda Tuhan, bisa mengatur takdir seseorang? gumamku dalam hati. Paklik angsle hanya tersenyum getir. Arthur kini tak menundukkan kepala, ia menatap tajam kearah pria itu.

"Lahpo le? ga terimo yo? lah nyatane ngono'o" cela pria itu sembari memukul-mukul meja.

Pria itu tertawa diikuti anggota lain, lalu aku reflek berdiri menarik tangan Arthur menjauh dari mereka. Aku merasa kesal dan marah, Arthur tak keberatan untuk pergi dari situ. Ia mendumel sembari mengayunkan tungkainya kearah pulang.

"Ah memang mereka tuhan? suka-suka kita kan? duit-duit kita," cetus Arthur sembari masih menghisap cerutunya.

"Bener," balasku singkat.

Arthur berbelok kearah gerbang, ke gedung kos untuk laki-laki. Ia melambaikan tangan lalu menginjak cerutu dan menyemprotkan minyak wangi ke kaosnya, ia takut ibu kos akan cepu ke maminya. Selepas dari kos Arthur, aku berjalan kearah gedung kos tempatku beristirahat, namun pikiranku langsung teralihkan dengan tangisan seorang wanita paruh baya mempertahankan barang dagangannya. Aku terkejut, aku berlari lalu bertanya apa yang terjadi. Namun seorang pria tiba-tiba menyentakku dengan garang.

"Hey! jangan ikut campur! sampean sudah di peringati malah ngeyel!" sentak pria itu yang sekarang beralih ke wanita paruh baya yang tengah terisak.

"Jangan le, aku ra nduwe duit maneh," isak wanita itu.

Pria itu adalah anggota berseragam coklat dengan mobil belakang yang memiliki kursi besi panjang. Wanita paruh baya itu terus menangis mempertahankan wakul isi ketannya itu, hingga beberapa tumpah. Aku merasa iba, lalu berbicara dengan nada lantang.

"Pak! mbah ini lebih tua dari bapak loh! berapa pun akan saya beli!"

Aku mengeluarkan tas rajutku dan menyodorkan 1 lembar uang 500-an dan beberapa pecahan koin. Pria berseragam coklat itu mendengus kesal lalu membiarkan wanita ini untuk pergi. Aku membantu wanita paruh baya ini untuk menata kembali dagangannya.

"Mbah griyane teng pundi?"

Wanita itu menyeka air matanya dan ikut menata letak barang bawaannya.

"Klitren nduk,"

Aku mengangguk, aku menatap wajah wanita itu dengan perasaan iba. Teringat ketika aku membantu almarhumah ibuk di pasar untuk berjualan. Sesaat aku teringat perkataan Arthur sebelumnya. Aku mengepalkan tangan, ketika mengingat ibuk. Ibuk meninggal karena kurangnya fasilitas kesehatan, akibat pemerintahan yang amat tamak. Wanita paruh baya itu pergi setelah kami selesai membersihkan sisa keributan, ia berjalan tertatih. Hingga seorang gadis kecil berlari kearahnya.

"Mbah! aku cari kemana! gimana? besok sudah bisa beli susu kan!?" pinta gadis kecil itu dengan riang.

"Mbah baru punya segini dek, maaf ya, besok kita makan daun singkong lagi ya?" titah wanita paruh baya itu kepada entah siapa, apakah itu anak ataupun cucunya.

Aku meremas lenganku sendiri, aku teringat kalimatku yang mengeluh bahwa tak suka dengan singkong rebus. Aku mengepalkan tangan, berjanji kepada diriku sendiri dan bapak. Aku akan membuat pada tikus berdasi itu untuk merasakan balasannya atas menindas rakyat kecil seperti kami.

Meja RapatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang