Dear Diary, sebenarnya ku tak mengharap ini semua. Mengapa? padahal aku hanya ingin membela ibu pertiwi dengan tenang.
-RS. Yakkum, 03-1993***
"Hah!? mas bohong kan!?" aku meninggikan nada suara terhadap lawan bicaraku di depan.
Mas Wisnu mengaitkan jari-jemarinya. Aku reflek menghembuskan nafas panjang. Bapak, masuk Rumah Sakit Yakkum. Mas Wisnu bilang, kemarin ia di hubungi oleh Budhe. Budhe Erna bilang kalau penyakit bapak semakin kronis. Sehingga akhirnya kami berdua memutuskan untuk pulang ke rumah. Di sepanjang perjalanan, aku menyadari rambut Mas Wisnu telah dipangkas habis. Aku bertanya, mengapa sekarang ia memangkas habis rambutnya hingga gundul. Ia tersenyum, aku ketinggalan informasi. Ternyata, Mas Wisnu telah jadi seorang tentara. Aku terbelalak, secepat ini kah? rasanya baru kemarin ia mendaftar menjadi taruna angkatan darat, khususnya KOPASSUS.
Setelah perjalanan panjang dari Yogyakarta, tiba-tiba bus mengalami pecah ban. Mengakibatkan kepalaku benjol menghantam jendela. Akhirnya aku dan Mas Wisnu berhenti di Terminal Terboyo. Saat turun, Mas Wisnu langsung berjalan kearah sebuah wartel. Ia mengkabari Budhe Erna bahwa bus kita pecah ban, Budhe Erna bilang bahwa kondisi bapak mulai membaik. Aku dan Mas Wisnu merasa lega, akhirnya kami duduk di sebuah warung soto. Kami memesan 1 mangkok untuk berdua.
"Mas gamau makan?" tanyaku.
Mas Wisnu tersenyum dan menggeleng, ia mengatakan bahwa ia sudah kenyang. Bohong, padahal sepanjang perjalanan tadi aku mendengar cacing pita di perutnya merengek. Akhirnya aku tak menghabiskan soto yang Mas Wisnu pesan, dan memaksanya untuk makan. Walau awalnya ia menolak, akhirnya ia memakan soto itu dengan lahap. Kita berdua memiliki tubuh ringkih dan kurus, namun memiliki kecerdasan yang luar biasa tentu aku berbangga hati mengucapkan ini semua.
"Mas ga dapet bus Kar, kita jalan kaki sampe terminal lain gapapa kan?"
Aku mengangkat pandanganku, lalu mengangguk. Kita berjalan cukup jauh, kita tak mampu membayar becak karena uang yang kita miliki hanya bisa untuk membayar ongkos bus. Namun tiba-tiba suara klakson truk membuat Mas Wisnu dan aku kaget. Ternyata itu adalah truk yang mengangkut banyak tentara. Mata Mas Wisnu berbinar ketika sang sopir truk mengajak kita berdua menebeng hingga Grobogan. Aku naik dibantu dan ditarik salah satu anggota tentara, Mas Wisnu naik dan tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada mereka. Banyak dari mereka yang menggunakan jaket hitam, maupun kaos oblong. Aku duduk paling dekat dengan pintu keluar—masuk. Aku merasakan terpaan angin pada rambutku, karena aku merasa sungkan akhirny aku mengikat rambutku.
"Haha, la yo lahpo awak dewe mesti nelangsani wong-wong koyok ngono?"
Aku menoleh terhadap sumber percakapan, ternyata mereka tengah membahas tentang perlawanan rakyat kecil terhadap rezim. Aku mendengus kesal, Mas Wisnu tiba-tiba menambahkan.
"Makanya, mereka sudah di tertibkan saja ngeyel, lah kita? nurut koyok kirik ae sudah dapet cuan."
Mereka tertawa, aku merasa semakin kesal, aku mengambil sarung di dalam tas ku dan menutup kepalaku. Namun salah satu dari mereka menegurku.
"Kamu kuliah dek?"
Aku membuka sarungku, lalu mengangguk. Anggota dengan name tag Agus itu kembali bertanya.
"Kuliah dimana?"
Aku menelan ludahku dulu sebelum berbicara, "Yogyakarta mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Meja Rapat
Historical FictionDear diary, tahun-tahun berat yang ku jalani sebagai mahasiswa, Terlebih lagi saat Arthur mengajakku menjadi aktivis. -Yogyakarta, 01-1991 Dear Diary, sebenarnya ku tak mengharap ini semua, janji manisnya hanyalah sebuah omong kosong belaka. -Semara...