11 | menemukan

445 110 216
                                    

hai haiii.

terima kasih yaa buat vote dan komentar di chapter sebelumnya. masih kurang 10 votes dari target, but its okayyy, ini chapter baru buat kalian yang super kerenn!!!

target buat chapter ini 160 komentar yaaa

happy reading!!

***

Senyap menyelimuti ketika Jiwa masuk ke dalam kamar bersama Jingga.

Beberapa saat lalu, ketika satu-satunya hal yang bisa Jiwa lakukan hanyalah tertunduk di dekat meja resepsionis tanpa bisa melakukan apapun, Jingga datang dan menggenggam jemarinya. Ketika kepala Jiwa terangkat untuk menoleh, ia menemukan Jingga yang sedang tersenyum lembut kepadanya seakan tidak terjadi apa-apa.

Jiwa masih membisu, hanya mampu diam terduduk di sofa bahkan setelah Jingga masuk kembali ke dalam kamar usai mengambilkan kotak P3K.

Jingga membasahi bibir, sama sekali tidak terbiasa dengan situasi ini—situasi di mana Jiwa terasa begitu asing. Yang laki-laki itu lakukan sejak tadi hanyalah diam dan menghindari kontak mata, seperti enggan membiarkan Jingga membaca emosi apa yang sedang bergemuruh di dalam dadanya sekarang.

"Jangan lupa diobatin lukanya." Jingga meletakkan kotak P3K di sebelah Jiwa.

Jiwa hanya mengangguk singkat tanpa menatap Jingga sama sekali, membuat Jingga semakin tidak tahu harus melakukan apa. Pada akhirnya perempuan itu berbalik, berjalan menuju pintu dan menekan gagangnya, berniat untuk keluar, namun sesuatu mengurungkan niatnya.

Jingga khawatir.

Jingga tidak ingin tahu bagaimana bisa Papa Jiwa bisa tiba di sini. Jingga tidak ingin tahu mengapa beliau tiba-tiba datang dan menghajar Jiwa.

Yang Jingga ingin untuk ketahui hanyalah apakah Jiwa baik-baik saja atau tidak.

Maka perempuan itu menutup kembali pintu, melangkah mendekat ke arah Jiwa yang lantas tersentak kecil, mengira Jingga sudah keluar dari kamar karena mendengar debuman pintu. Tanpa banyak bicara, Jingga duduk di sebelah Jiwa, mengambil kotak P3K yang tadi ia bawa dan menuangkan sedikit obat merah ke atas kapas, lalu mulai mengobati luka di pipi Jiwa.

Jiwa tetap bergeming, hanya menatap Jingga yang kini jaraknya tidak lebih dari dua jengkal wajahnya.

"Jiwa." Jingga memanggil tanpa memindahkan perhatiannya dari luka Jiwa yang sedang ia obati. Kening Jingga mengernyit saat Jiwa tidak menjawabnya, membuat perempuan itu sekali lagi memanggil, "Jiwa?"

"H—hm?" Jiwa tertarik keluar dari lamunannya.

"Kamu nggak apa-apa?"

"I'm okay." Jiwa menjawab demikian. "Seharusnya nggak perlu diobatin juga—"

"Saya khawatir." Jingga menyela cepat, tahu bahwa Jiwa sedang berbohong. "Saya nggak masalah kamu nggak mau cerita. Tapi jangan bohong, ya, dengan bilang kamu baik-baik aja? Nggak bakal ada orang yang baik-baik aja di posisi kamu tadi, Jiwa."

Lagi-lagi, hening. Sebelum kemudian, suara Jiwa yang parau terdengar.

"Jingga."

"Iya?"

"Gue takut..." aku Jiwa, hampir berbisik.

Tangan Jingga yang semula sedang bergerak mengusapkan obat merah di luka Jiwa seketika berhenti. Kini, seluruh perhatiannya ada pada Jiwa yang sedang menatapnya nanar, seperti sedang tersesat.

Temu JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang