13 | mulai terjawab

554 111 207
                                    

haiiiiii

terima kasih banyak buat komentar komentar di chapter sebelumnyaaa

gercep abis kaliannn semuaaa!!!

target buat chapter ini 200 komentar yaaa

happy reading!

***

Tiga hari telah berlalu semenjak Jiwa beranjak pergi dari ruangan Jingga setelah meloloskan kata-kata yang hingga detik ini masih menimbulkan sebentuk rasa sakit di dada Jingga.

Setelah peristiwa itu, Jingga dan Jiwa sama sekali tidak berbicara. Jingga mungkin akan mengira laki-laki itu sudah pergi dari Galar kalau saja ia tidak melihat mobil Jiwa yang masih berada di area parkir. Laki-laki itu benar-benar tidak menampakkan dirinya sama sekali di depan Jingga, dan Jingga tentu saja tidak punya keberanian yang cukup untuk datang ke kamar Jiwa.

Menjelang tengah malam, Jingga yang sama sekali tidak bisa terlelap—seperti tiga hari sebelumnya—pada akhirnya memutuskan untuk meraih sehelai jaket dan keluar dari kamarnya, membiarkan kakinya bergerak entah ke mana. Jingga tanpa sadar melambatkan langkahnya saat melewati kamar Jiwa yang tertutup rapat dengan lampu yang tampaknya telah dimatikan, membuatnya menebak bahwa Jiwa sudah tertidur pulas.

Jingga terus melangkah melewati halaman depan Galar, membiarkan udara dingin menyapu kulitnya ketika ia menelusuri jalan setapak kecil. Penerangan Jingga malam ini hanyalah lampu-lampu jalan yang berjarak tidak terlalu dekat antara satu sama lain. Jingga merapatkan jaketnya seraya terus berjalan, hingga matanya menangkap seseorang yang sedang duduk di bangku panjang depan warung yang telah tutup.

Meski hanya dengan lampu bercahaya kuning yang tergantung di atap warung, Jingga tetap bisa melihat siapa sosok itu.

Jiwa.

Jingga membatu di tempatnya, tidak tahu apakah ia harus meneruskan langkah dan menghampiri Jiwa, atau justru berbalik dan berpura-pura tidak melihat sosok laki-laki yang tampak belum menyadari kehadirannya itu.

Usai menghabiskan hampir lima menit hanya untuk berdebat dengan dirinya sendiri, Jingga memutuskan untuk mengayunkan kaki menuju Jiwa, menganggap ini adalah kesempatan yang diberikan takdir kepadanya mengingat bagaimana selama 3 hari terakhir ini, Jingga sama sekali tidak bertemu dengan Jiwa.

Ketika Jingga sudah semakin dekat, Jiwa akhirnya menyadari kehadiran perempuan itu. Ekspresinya tidak berubah, tetap diam memperhatikan Jingga yang sedang menghampirinya. Ketika Jingga mengambil tempat untuk duduk di sebelah laki-laki itu dengan memberikan sedikit jarak, Jiwa masih tidak berkata apa-apa dan hanya membuang sebatang rokok yang sedari tadi sedang ia hisap meski masih tersisa setengah, lalu menginjaknya untuk memadamkan bara di ujung rokok.

Kesenyapan yang merayap membuat Jingga tahu ia harus menjadi pihak yang bersuara terlebih dahulu malam ini.

"Saya kira kamu udah tidur."

"Lo sendiri kenapa nggak tidur?" Jiwa mendengus. Jingga tahu kali ini pertanyaan tersebut bukanlah sebentuk perhatian karena sarkasme yang sangat kental di dalam suara Jiwa. Juga karena kata-kata yang mengikuti setelahnya, "Lo pasti bisa dong tidur dengan nyenyak. Matahin hati orang kan bukan apa-apa buat lo. Right?"

"Kamu kira saya bisa tidur dengan tenang beberapa hari terakhir ini?"

"Nggak tau. Gue nggak mikirin." Jiwa mengedikkan bahu. "Just like you don't think about how i feels."

Temu JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang