Prolog

339 24 2
                                    


11 tahun sebelumnya.              

Suasana malam mecekam menyelimuti lereng gunung yang berpopulasikan tiga rumah, jauh dari kata ramai. Dari tiga rumah sederhana di lereng itu, hanya ada satu rumah yang ventilasi jendelanya memancarkan sedikit cahaya kuning dari lampu senthir, sementara dua rumah lain di kanan kirinya sudah gulita, penghuninya sudah berkelana ke alam mimpi.

Di ruang tamu, tampak beberapa orang duduk lesehan di atas tikar pandan, mengelilingi lampu senthir bercahaya temaram dengan kopi hitam dan the manis di tangan masing-masing. Dua pasang suami istri dan seorang nenek-nenek berusia lanjut dengan rambut putih tebal yang masih energetic.

Sementara di pojok ruangan ada sebuah dipan rendah, dimana sepasang bayi berusia empat atau lima tahun tertidur di bawah selimut. Kening si bayi perempuan di tempeli kain basah untuk compress, sementara bayi laki-laki di sebelahnya memeluk bayi perempuan. Tak mau melepasnya sebentarpun bahkan dalam tidur.

Sang nenek menghela nafas panjang.

"Namanya nikah bajang. Pernikahan antara kedua anak yang nasibnya saling bertaut dan berbahaya jika mereka sampai terpisahkan. Dimasa depan ketika mereka dewasa dan lebih kuat, mereka bisa menentukan nasib mereka sendiri. apakah pernikahan akan berlanjut atau tidak, kita serahkan pada mereka. Namun jika mereka memilih berpisah, sebelum mereka menikahi pasangan masing-masing harus ada ritual pegatan karena talak saja tidak cukup."

Kening empat orang dewasa itu berkerut seketika.

Sang Nenek melanjutkan penjelasannya. "Sebenarnya, nasib mereka bukannya, bertaut, tapi ditautkan erat dengan nikah bajang. Seseorang merengkuh benang nasib mereka dan menautkannya. Kemungkinan besar karena benang nasib anak perempuan kalian dalam bahaya. Apakah ada keluarga kalian yang bisa melakukan ini?" tanya Sang Nenek.

Laki-Laki dewasa berambut coklat tua yang memeluk wanita berambut ungu disebelahnya mengangguk pelan.

"Ibu saya. Ketika Rena lahir, Kinara pendarahan sampai koma. Ibu membawa Rena pulang dan mendekatkannya ke Tara yang baru tujuh bulan. Aku tidak tau saat itu ibu melakukan ritual apa pada keduanya dikamarnya. Ternyata untuk ini. Ibu hanya menjelaskan kalau darah yang mengalir di dalam tubuh Rena terlalu kuat, bisa membahayakannya. Jadi karena itu sepertinya ibu mengikat Tara pada Rena. Untuk membantu."

Kinara, wanita berambut coklat di seberangnya mengangguk lemah. "Ada darah kerajaan kuno yang diturunkan dari ibu ke anak perempuan. Garis ini membuat hanya akan ada satu anak perempuan di keluarga kami. Ibuku meninggal saat aku hamil muda Rena, dan berpesan, kalau Rena lahir di tengah malam pada weton-weton tertentu, harus di carikan darah penguat. Tidak kusangka itu sudah dilakukan."

"Nggak papa. Rena anak kuat kok. Meskipun terpaksa pisah sama kakak-kakak kandungnya, dikemudian hari mereka akan membantu kita melindungi Rena." Suami Kinara ikut menenangkan.

"Tapi nek, kenapa keadaan Rena semakin parah?" wanita berambut ungu tampak khawatir.

"Karena darahnya semakin menguat. Ikatan nikah bajang saja tidak cukup. Nikahkan secara agama dan adat, lakukan disini saja. Saya akan mengatur semuanya. Terkait apakah kalian akan memberitahukannya pada anak-anak kalian, itu saya serahkan sepenuhnya pada kalian. Hanya saja ritual pegatannya dikemudian hari akan lebih rumit." Nenek menjawab.

Kinara mengerutkan kening. "Tapi... menikah agama dan adat...? Mereka masih bayi. Dan ini menyangkut Tara juga, bagaimana kalau Tara terpengaruh darah Rena dan melemahkannya? Bagaimana kalau darah Rena menghisap kekuatan Tara?"

"Tara mau nikah sama Rena." Satu suara kecil yang pelan mengejutkan lima orang dewasa yang terduduk. Tampak anak laki-laki itu duduk sambil mengucek matanya, sementara tangan satunya menggenggam tangan anak perempuan di sampingnya. "Tara kuat. Tara pasti lindungi Rena." Ucapnya dengan nada yakin tanpa ruang untuk pembantahan.

Kinara dan suaminya terkejut. Sementara orang tua Tara tampak terkekeh kecil, seolah sudah tau ini akan terjadi.

"Nggak papa kok Nara, aman. Yang penting kedua anak ini selamat. Kalau nggak, perjuangan kita selama ini sia-sia. Sekarang ada jalan keluar, kenapa nggak?" ibu Tara menjawab dengan ringan.

Sang Nenek tersenyum tipis, lalu mulai merinci apa saja yang perlu mereka persiapkan.

.

tbc



Author notes: Aku antara lupa dan nggak tau warna rambut orang tua Ratara dan Serena. Cuma ingat kayaknya rambut bapaknya Serena biru, sama kayak Serena. disini bakal kubuat Serena punya 5 kakak laki-laki. Nanti aja kalo nyambung untuk ceritanya baru ku keluarkan. :D 

Lilitan Benang-Benang TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang