5. Harta

55 7 0
                                    

Usai acara, para OSIS dan beberapa kru dari pengisian acara membersihkan lapangan beserta aula yang digunakan untuk ruang ganti dan make up. Tiba tiba terdengar suara jeritan panik dari arah belakang gedung aula. Beberapa murid yang mendengar langsung berhamburan melihat, ternyata Aurora mengalami shock setelah melihat Ayesha sedang terkapar di bawah pohon dalam keadaan kejang kejang. Salah satu dari mereka menelpon ambulans untuk segera menangani kondisinya.

Jantung Aurora berdegup tidak karuan, ia merasakan adanya trauma mendalam setelah insiden Namisa terbunuh dan menghilang.

Aurora lelah dengan semua ini, ia hanya ingin kehidupan dan orang sekitarnya normal seperti biasanya. Setelah diperiksa,  kini ia duduk masih memakai selimut tebal dari paramedis di ambulans sembari membaca artikel. Kemudian ia dengan sengaja mencoba mencari berita Namisa, dan ternyata ada artikel yang membahasnya.

Ditemukan mayat telah terapung di sungai dengan luka tusukan dan wajah yang telah hancur, serta kondisi kulit telah melepuh dan robek, sehingga korban tak dapat diidentifikasi. Saat ini jasad sedang diperiksa di Rumah Sakit Medica Husada. Ciri ciri korban meliputi, rambut panjang, tinggi 165 cm, mengenakan jaket motif sakura berwarna merah.

"Namisa?"

Aurora langsung berdiri mencari alamat  rumah sakit yang tertera di maps. Selama perjalanan dalam taksi setelah kabur dari pengobatan ambulans, ia membuka artikel yang berkaitan dengan insiden ini, hingga tak lama dari itu berita Namisa tersebar dengan cepat.

Sesampainya di lobi rumah sakit, Aurora menghampiri pegawai bagian administrasi untuk menanyakan kamar mayat. Setelah ditunjukkan, telah ada keluarga Namisa di dalamnya sedang berduka, apalagi sang ibu hingga terlihat sangat pilu.

Mengetahui ada Aurora di belakangnya, sang ibu langsung menampar.

"Kamu apakan anak saya?!"

Aurora memegang pipinya yang memanas akibat pukulan keras tadi, "Saya tidak tahu, bu"

"Hahaha! Kamu lupa? Beberapa hari yang lalu kamu dengan nekat mau masuk jendela kamar Namisa"

"Tidak, bu"

"Keluar kamu!"

Aurora bahkan belum sempat melihat jasad Namisa, bibirnya tak sanggup untuk mengeluarkan kalimat lagi. Air matanya jatuh begitu melihat tubuh yang tak karuan di dalam sana. Lebih baik baginya jika harus pergi dari pada melihat. Namun hatinya masih belum lega, jadi ia mengintip sedikit untuk memastikan kemudian pergi.

Kedua tangan Aurora terus mengusap air mata yang terjatuh, ia melihat jemarinya yang masih cantik mengenakan kutek gambaran Namisa seminggu yang lalu. Seketika Aurora teringat sesuatu, waktu itu ia juga berkontribusi membuat nail art di kukunya Namisa.

Esoknya setelah memakamkan Namisa di pemakaman umum, Aurora disuruh untuk menghadiri acara keluarga inti Namisa. Pemberitahuan tentang wasiat dan warisan.

Malam itu Aurora mengunjungi kediaman keluarga Namisa, di sana sudah ada notaris dan beberapa saksi yang menunggu dirinya. Aurora menyiapkan jiwa keberaniannya ketika ditatap tak enak oleh mereka. Sesaat tubuhnya merinding saat acara akan dimulai.

"Baik, di sebelah saya sudah ada saksi yang bukan dari ahli waris mendiang Namisa. Langsung saja saya bacakan keseluruhan surat bahwasanya, Mobil Tesla atas nama Namisa akan diberikan kepada Aurora, sahabat dari Namisa ... "

"Apa?!" Ayah Namisa beranjak berdiri tidak terima. Bagaimana bisa mobilnya diberikan pada orang lain.

"Mobil ini saya yang beli!" tambahnya.

"Salah" timpal Aurora.

"Tau apa kamu!"

"Iya memang benar mobil ini Anda yang beli, tapi pakai uang Namisa dari gaji endors yang dikumpulkan. Namisa tidak bisa mengemudi. Ralat, belum bisa waktu itu. Jadi anda yang diserahkan semuanya, namun mobil tersebut masih atas nama Namisa"

"Kurang ajar!"

"Saya lanjutkan. Sebuah apartemen di Penthouse Garden senilai sepuluh milyar dengan rincian apartemen tipe duplex dan luas 205 meter persegi, diberikan kepada Aurora ... "

"Hah? Namisa punya apartemen?" tanya tantenya kemudian melongo sesaat. Disusul kedua orang tua Namisa yang tak percaya juga.

"Gak, gak mungkin. Wah Aurora jangan jangan kamu bunuh Namisa buat ambil hartanya ya?!" tuduh tantenya.

" ... Beserta uang tunai sebanyak dua puluh milyar untuk diberikan kepada Aurora"

"Wah, keberatan. Saya bisa gugat ke pengadilan. Bagaimana bisa keluarganya tidak mendapat sepeserpun?" sela ayah.

"Saya belum selesai mengumumkan" sahut notaris tersebut.

"Televisi diberikan kepada Tante, kebun strawberry diberikan kepada Bapak, dan tanah yang ada di belakang tetangga samping diberikan kepada Ibu"

Kebun strawberry yang tidak begitu luas itu sering digunakan Namisa bermain dan menanam, meskipun tak banyak yang bisa dipetik karena ia belum jago merawat tanaman itu, setidaknya Namisa pernah mencicipi buah Strawberry hasil panennya bersama Aurora.

Tanah tetangga seluas seratus meter persegi berhasil dibeli Namisa karena selalu dituntut ibunya digunakan untuk ternak ayam.

Kalau televisi, hanya rasa kasihan pada tantenya yang kurang wawasan.

Setelah notaris dan ketiga saksi pergi, Aurora merasakan sakit di kepalanya akibat jambakan yang keras dari tante Namisa. Disusul pukulan di punggungnya dari sang Ibu. Sepertinya ini bukan apa apa dari yang Namisa alami sebelumnya saat masih hidup.

Aurora menendang kaki tante, lalu menarik lengan ibu, kini pandangannya tertuju pada ayah Namisa, bisa bisanya hanya diam dan melihat saja. Kedua wanita cerewet berhasil dilumpuhkan, Aurora segera pergi memasuki mobil yang baru saja menjadi miliknya, kemudian menginjak gas mobil dan mengemudinya dengan asal asalan.

🌸🌸🌸

Di sekolah telah tersebar kabar bahwa Aurora yang telah kaya raya sebelumnya menjadi lebih kaya. Beberapa murid yang suka julid menyinggung di belakang, ada juga yang bersikap bodo amat.

Aurora menghampiri Ayesha sebelum duduk ke bangkunya, "Kamu gapapa, Sha? Kemarin kenapa?"

Ayesha memainkan sudut bibirnya, menatap Aurora dengan pandangan aneh, "Gapapa kok" ujarnya bohong. Ayesha masih mengingat dengan jelas adanya sosok dengan tanduk di kepala berjalan mengelilingi pagar pembatas sekolah. Ia memiliki riwayat penyakit epilepsi.

"Yakin?"

Ayesha kemudian mengangguk, tidak ingin membahas hal mengerikan yang membuatnya trauma.

Bangku di sebelah Aurora dipenuhi bunga dan surat dari teman teman dan para penggemar. Aurora memandangi bangkunya dengan perasaan kosong.

Tak lama Haris dan Hamdan berkunjung ke kelas mereka untuk bela sungkawa. Raut wajah Haris muram memandang bangku, begitu pula Hamdan. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, mereka berdua langsung pergi meninggalkan kelas.

Aurora mengejar Haris yang jaraknya belum jauh, ia tahu background Haris bukan dari sembarang keluarga. Maka dari itu Aurora sengaja mengajak lelaki muram itu untuk bekerja sama.

"Boleh kan kak?" Tanya Aurora setelah menjelaskan basa basinya. Tanpa pikir panjang, Haris menyetujui ajakan Aurora untuk memecahkan misteri. Dengan kekayaan yang dimiliki sekarang, Aurora memutuskan memanfaatkan uang tersebut untuk mencari dalang yang sebenarnya.

Aurora, Haris, dan Hamdan, serta ayah Haris yang menjabat sebagai anggota kepolisian mulai berunding. Papan tulis kini dipenuhi coretan anak panah.

"Kamu yakin, Ra?" tanya Haris memastikan.

"Yakin, kak. Kenapa?"

Haris menggeleng sesaat, ragu.

"Oke lanjut" ajak Hamdan sembari menarik garis lagi di papan, dirinya mulai merasakan keganjalan.

"Dih tumben mikir, Dan" celetuk Haris bercanda.

"Anying, serius ini. Kamu yakin Ra pelakunya orang lain?"

Aurora mengangguk.

"Bukan kamu?" lanjutnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FRENEMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang