04. Cinta-Nya Abang.

52 6 11
                                    

Langit tidak tahu tentang Biru, Abangnya itu terlalu abu-abu untuk Langit. Dia terkadang baik tapi juga terkadang membencinya setengah mati. Seperti hari ini ketika Langit tidak sengaja bertemu Biru bersama seorang gadis cantik di hadapannya.

Ingin rasanya Langit berbalik dan pergi tapi Biru sudah terlanjur melihatnya dengan seragam dan celemek di pinggang khas pelayan cafe. Tatapan lelaki itu menajam menatap Langit dari atas ke bawah. Ada amarah yang berkobar di mata Biru dan Langit menciut di tempatnya.

"Mampus, pulang disayang lagi gue pasti." Gumam Langit membatin kesal.

Langit menundukan kepalanya, menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan untuk kemudian mengangkat pandangan dengan senyum semanis mungkin.

"Se-selamat si-ang! Silahkan mau pesan apa?" Tanyanya gugup.

Dan Biru tidak mengatakan apa-apa, lelaki itu hanya terus menatap ke arah Langit. Tatapan tajam yang seolah ingin menelan Langit hidup-hidup dan membuat Langit buru-buru menunduk lagi.

"Bii, mau pesan apa?"

"Ice Cappucino."

Di bawah tatapan Biru yang tak teralihkan Langit buru-buru mencatat pesanan yang gadis cantik itu sebutkan. Setelah mengkonfirmasi pesanan, Langit buru-buru pergi dari sana dengan umpatan yang terus dia gaungkan di kepala.

"Mati beneran gue kali ini."

Selama ini Langit memang selalu melihat Biru diam. Tidak banyak bicara, kata-kata Biru selalu disampaikan lewat tindakan. Untuk Langit kata-kata Biru selalu dia dengar lewat pukulan. Bahasa Biru itu adalah bahasa paling menyakitkan untuk Langit selain Papa.

....

Malam sudah beranjak larut ketika Langit sampai di rumah. Remaja yang masih mengenakan seragam sekolah serta ransel yang ia tenteng sembarang itu melangkah mengendap-endap, menaiki satu persatu anak tangga takut membangunkan penghuni rumah yang mungkin sudah nyaman dalam tidurnya.

Tapi Langit harus menghentikan langkahnya ketika lampu yang tadinya mati tiba-tiba menyala dan menerangi ruangan yang tadinya remang-remang. Langit menutup matanya erat dengan jemari saling meremat.

"Mati gue!" Umpatnya membatin takut sebelum perlahan berbalik dan menatap Biru yang berdiri di sebelah sakral lampu dengan tatapan lebih tajam daripada tadi siang.

"Bang-"

Belum juga usai, kata-kata Langit harus kembali ia telan karena rahangnya sudah lebih dulu menyapa tinju yang Biru layangkan. Sudah Langit bilang kan? Kata-kata Biru itu selalu ia dengar lewat pukulan.

Langit meringis pelan, merasakan zat besi yang berasal dari luka di bibirnya. Jemarinya berusaha kuat menahan lengan Biru yang menarik kerah seragam yang ia kenakan. Cengkraman Biru begitu kuat hingga membuat Langit  menarik napas kepayahan.

"Bang, le-pas!" Pinta Langit karena sungguh dadanya sudah terhimpit sesak.

Permintaannya memang dikabulkan tapi bayarannya Langit harus merelakan punggungnya menghantam lantai cukup keras. Rasa sakit menjalar cepat pada punggungnya yang memang masih tersisa luka. Ia gigit bibirnya menahan ringisan yang memaksa keluar. Sungguh, jika ini adalah bahasa Biru maka Langit tidak ingin bicara lagi.

"Sejak kapan hmmm?" Tanya Biru menatap mata adiknya tajam. "Sejak kapan, Langit? Sejak kapan loe kerja di sana hahh? Jawab!!" Tanya Biru lebih tajam, mencengkram dagu Langit, memaksa adiknya itu untuk menatap langsung ke matanya.

Mendekap LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang