05. Kesayangan Kakak

66 7 5
                                    

Awan ingin memeluk Langit semudah ia memeluk Biru. Awan ingin mengatakan pada Langit bahwa ia menyayangi adiknya itu. Awan ingin Langit tahu bahwa dia adalah kesayangan Awan. Hanya Awan tidak tahu bagaimana caranya, dia tidak tahu bagaimana mengatakan perasaannya pada Langit. Dia tidak tahu bagaimana cara mendekap Langit dengan benar tanpa membuat adiknya terluka. Awan hanya tidak tahu bagaimana caranya.

Berdiri mematung di tempatnya, Awan tidak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikan Biru membawa Langit. Awan tidak bisa melakukan apa-apa ketika Biru mendorong adiknya paksa ke dalam gudang. Awan mungkin lebih kuat dari Biru, dia mungkin bisa mengalahkan abangnya itu dengan mudah tapi dia tidak bisa melakukan semua itu jika bayaran yang harus ia terima adalah melihat Langit terluka lebih parah.

Sudah cukup 5 tahun lalu dia melihat adiknya terluka, sudah cukup dia melihat adiknya disiksa begitu parah hanya karena dia menunjukan kasih sayangnya pada Langit. Awan tidak ingin mengalami hal yang sama. Luka 5 tahun lalu masih terlalu segar dihatinya.

Awan melangkah ke pintu gudang yang kini terkunci, mendudukan bokongnya di depan pintu gudang dan memeluk lututnya yang terlipat. Mendengarkan tangis Langit yang masih terdengar tersedu. Hati Awan sakit tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa.

"Ma, ayo jemput Langit!"

"Jangan. Tolong, Ma jangan bawa Langit. Kakak belum bisa bahagiain dia." Ujar Awan membatin pelan.

Ia tempelkan kupingnya pada daun pintu tapi Awan tidak bisa mendengar apa-apa, tidak ada suara tangis Langit, tidak ada suara napasnya yang berantakan hanya hening. Awan meletakan telapaknya pada daun pintu, mengetuk pintu itu pelan dengan jari telunjuknya tapi tidak ada respon apa-apa. Awan panik, matanya bergerak gelisah, menatap ke segala arah mencari bantuan hingga matanya melihat sosok Mang Adi yang berdiri tak jauh darinya. Dengan isyarat tangan Awan meminta Mang Adi mendekat dan bicara setelah ia mengetuk pintu pelan sekali lagi.

"Den, ini Mang Adi."

"Mang Adi?" Sahut Langit membuat Awan menghela napas lega. Pemuda itu kembali menatap Mang Adi, meminta pria itu kembali bicara.

"Iya, ini Mamang. Den Langit bawa HP-nya gak?"

"HP langit di tas, Mang. Mang Adi, Langit takut di sini gelap." Adu Langit serak.

"Maaf." Gumam Awan pelan hampir tak terdengar.

"Iya, maaf ya, Den. Mang Adi gak bisa bukain pintu, kuncinya dibawa Den Biru. Aden tunggu dulu ya sebentar Mang Adi ambilin HP-nya Aden dulu biar gak gelap."

"Jangan lama-lama ya! Langit takut sendiri."

Mang Adi berdehem lembut. Pria itu beranjak mengambil handphone milik Langit untuk kemudian menyerahkannya pada Awan. Awan dengan hati-hati menyelipkan handphone Langit di bawah sela pintu.

"HP-nya Mamang selipin di bawa pintu. Hidupin senter terus tidur ya, Den. Gak usah takut ada Mamang di sini. Mamang akan temenin Aden sampe pagi."

"Makasih ya, Mang."

"Iya, tidur den."

Detik berikutnya, hening menyapa. Awan tidak mengatakan apa-apa setelah membiarkan Mang Adi pergi. Pemuda tampan itu menyandarkan punggungnya pada daun pintu, mendengarkan suara napas adiknya yang mulai tenang dan melihat pedar cahaya yang sedikit terpancar dari sela bawa pintu.

"Mang Adi!" Panggil Langit dan hanya deheman serak yang Awan berikan sebagai jawaban. "Langit sayang banget sama Bang Biru dan Kak Awan tapi kenapa mereka gak sayang sama Langit ya?"

"Sayang. Gue sayang banget sama loe. Kata siapa gue gak sayang sama loe hmmm? Gue minta maaf."

"Langit juga gak mau terlahir kayak gini, Mang. Kalo bisa memilih Langit juga gak mau kayak gini, Mang. Langit gak mau menjadi penyebab kematian Mama."

Mendekap LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang