3

132 5 0
                                    

"Ini, benar kau yang memasak?" tanya Affan, ia menatap pada beberapa menu makanan di meja.

"Iya Mas," jawab Hanah.

"Kenapa banyak sekali, aku tidak mungkin menghabiskan semuanya sendiri, nanti aku akan pergi dinas, dan makanan ini akan basi," ujar Affan.

Mendengar itu, Hanah pun menunduk, ia bingung harus masak berapa porsi tadi. "Maaf Mas, saya tidak tahu, Mas bisa membawanya sebagai bekal," ujar Hanah.

"Ck, untuk bekal makan malam juga masih lebih," ucap Affan. "aku tidak suka makanan menjadi mubazir, kau bawa pulang saja, kau bisa memakannya atau memberikan pada yang membutuhkan," ujar Affan, kemudian laki-laki itu pun mulai makan siangnya di jam 2 siang.

"Alhamdulillah," ucap Hanah begitu lirih, ia tak menyangka jika ia akan mendapatkan rezeki seperti ini di saat hari pertama bekerja.

Bu Laras benar, majikannya meski arogan, dia orang yang baik hati, sebagaimana profesinya sebagai dokter yang suka menolong.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Affan.

Hanah pun tersadar. "Astagfirullah," lirihnya.

"Sudah, siapkan bekal untukku dan istirahatlah, kamu boleh pergi setelah aku berangkat jam tiga nanti," titah Affan.

"Ba-baik Mas," jawab Hanah, ia pun permisi dan pergi ke dapur, lalu mulai menyiapkan bekal untuk majikan Dokternya pergi ke rumah sakit.

Hanah ingat, dulu saat kecil, Hanah pun ingin sekali menjadi seorang dokter, tapi itu hanya mimpi. Biaya kuliah dokter mahal bukan main, jangan mimpi Hanah, begitu kata ibunya.

Ya, hanya mimpi, untuk menuntaskan sekolah SMP saja Ibu Salamah tidak sanggup membiayai. Apalagi SMA dan kuliah, kedokteran lagi. Karena itu, Hanah yang sadar diri, dengan cepat ia mengubur impian masa kecilnya itu dan ia yang suka belajar akhirnya memilih untuk masuk ke Pesantren gratis dulu.

"Aku akan berangkat ke Rumah Sakit, pulang jam 9 besok pagi, jadi saat pulang, harus sudah ada sarapan, ingat masak sedikit saja," ujar Affan.

"Baik Mas," jawab Hanah sambil mengulurkan rantang kecil dengan teknologi agar dapat menyimpan makanan supaya tetap hangat.

Affan menerima wadah bekal itu, pria itu hanya menghela napasnya lalu pergi meninggalkan rumahnya, tak lupa dia juga mengunci pintu depan rumahnya. Karena Hanah akan keluar melalui pintu kecil di samping, di depan carport.

Hanah menghela napasnya panjang setelah mendengar suara mobil meninggalkan halaman. "Alhamdulillah, dia orang yang baik meski kurang ramah," ujarnya.

"Astagfirullah, apa yang kamu katakan Hanah, tak baik menilai seseorang seperti itu," ucap Hanah menegur dirinya sendiri.

Kemudian Hanah pun melanjutkan pekerjaannya supaya dia bisa segera pulang ke rumah. Tidak lupa dia membawa sisa makanan majikannya tadi untuk dia dan ibunya.

"Alhamdulillah malam nanti Ibu bisa makan ayam goreng," ucap Hanah.

Hanah tak ingat kapan terakhir dia makan ayam goreng, misal ada pemberian tetangga atau wali santri dia selalu memberikannya pada ibunya dan itu pun jarang sekali.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, ba'da Asar Hanah segera pulang ke rumahnya, dia jalan kaki meski cukup jauh. Dia tak punya sepeda apalagi motor.

Sekitar 30 menit kemudian, Hanah memasuki halaman rumahnya. "Ibu ...!" seru Hanah saat melihat ibunya tengah menyapu teras rumahnya, ia segera berlari menghampiri ibunya itu.

"Ibu, kan sudah Hanah bilang, istirahat, jangan melakukan apapun," tegur Hanah.

Bagaimanapun, sakit jantung ibunya benar-benar membatasi geraknya. Ibunya tidak boleh terlalu lelah. Andai dia punya uang, mungkin ibunya bisa dioperasi. Tetapi apalah daya, untuk menebus obat-obatan ibunya saja dia harus berhutang.

Istri Rahasia Mas Dokter DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang