Mentari sudah berada di atas kepala. Para siswa berhamburan keluar dari gerbang sekolah mereka. Masing-masing dari mereka ada yang jajan, ada yang nongkrong di atas ranting pohon, ada pula yang pacaran.
Namun berbeda dengan gadis ini. Setelah lonceng sekolahnya berbunyi, ia bergegas menaiki angkutan umum untuk langsung ke rumahnya. Alasannya? Ya karena ia sudah terlalu bosan di keramaian dan ingin merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk sambil membaca novel.
Tak lama ia sudah berada di depan gang yang langsung menembus ke rumahnya. Ia lalu berteriak kepada sang sopir, “Kiri, Mas!”
Kakinya melangkah turun dari angkutan itu. Sebelum ia melangkah pergi masuk ke dalam gang itu, ia membayar ongkos angkutan itu. Kalau tidak, ia bisa-bisa diteror seumur hidup oleh si sopir.
“Aduh, Neng. Ini kebanyakan kalau sepuluh ribu. Mas kalau lihat neng senyum aja udah cukup kok,” goda sopir tersebut pada gadis cantik itu.
“Najis. Inget anak-istri, Mas. Di rumah mereka belum makan dari pagi.” Gadis itu dengan tegas tetap memberikan uang sepuluh ribu itu dan melangkah pergi meninggalkan angkutan itu.
Sesampainya ia di rumahnya, ia terkejut ketika melihat dua koper tengah dikeluarkan oleh abangnya. Lalu dengan rasa penasaran, ia bertanya, “Mas? Kita mau ke mana? Kok keluarin dua koper gini?”
“Kata bunda, Azka, sepupumu menyuruhmu untuk pulang ke Buleleng. Makanya mas keluarin dua koper kamu. Kata bunda juga, kamu di sana dua minggu, Ca,” jawab Sadewa.
“Iyakah? Sepertinya Mas Sadewa bohong. Aku nggak percaya kalau bukan bunda yang bilang langsung ke aku,” ujar Vica.
“Beneran, kok. Mana mungkin mas Sadewa bohong sama kamu, Vica.” Bunda tiba-tiba menyela omongan mereka.“Oh, kirain mas Sadewa bohong,” ujar Vica sambil menggaruk leher belakangnya.
“Yaudah sana mandi. Bau ikan asin kamu,” ucap Sadewa sambil menutup hidungnya.
Tatapan Vica langsung sinis ketika mendengar omongan abangnya dan langsung masuk ke dalam rumah.
***
“Gimana? sudah kamu telepon orang tuanya Vica?” tanya seorang pria paruh baya kepada Azka—sepupu laki-laki Vica.
“Udah. Katanya bentar lagi jalan,” jawab Azka.
“Nanti kamu jemput dia, ya. Nanti juga kamu yang temani dia bertapa. Agar tidak diganggu oleh si babi itu,” pesan sang kakek.
“Iya, Dadong. Nanti Azka yang temani. Dadong tak perlu risau,” jawab Azka.
***
“Jaga diri di sana, jangan aneh-aneh di sana,” ujar bunda sambil memeluk tubuh anaknya.
“Iya, Bun. Aku janji nggak aneh-aneh di sana,” jawab Vica.
Bundanya pun melepaskan pelukannya dan Vica sudah mulai menghilang dari pandangannya. Rasanya sangat berat untuk melepas anaknya pergi jauh tanpa dirinya. Tapi, mau bagaimana lagi? Demi warisan keluarga, ia harus melepaskan anaknya.
Dalam pesawat, ia melihat bumantara yang sangat cerah pada hari itu. Pasti di Buleleng juga cerah seperti yang ia lihat.
Netranya terpejam. Ia ingin melepas penatnya. Sudahlah baru pulang sekolah, eh, sudah disuruh keluar kota pula. Tak terbayangkan seberapa penatnya.
Setelah satu jam dua puluh tujuh menit penerbangan non-stop, akhirnya ia sampai di bandara Buleleng. Ia lalu melihat sesosok lelaki yang melambaikan tangan padanya dan berlari ke arahnya.
“Woy! Udah lama kagak jumpa, gimana kabar di sana?” tanya Azka.
“Angayubagia—syukurlah—mereka baik-baik aja. Gue juga baik. Kabar lo sama dadong gimana?” tanya Vica kembali.
“Baik, kok. Asli, lo makin cantik aja,” gombal Azka kepada Vica.
“Bisa aje lo. Lo juga lebih ganteng dari lima tahun yang lalu. Cuma beda sekitar 00,1% sih perbedaannya,” gelak Vica.
“Bercanda mulu lo. Ayo pulang, dadong nungguin di rumah.” Azka menarik tangan Vica, membawanya masuk ke dalam mobil.
Pria yang berusia sekitar dua puluh satu tahun itu memutar lagu “My Neighbour Totoro” di speaker mobilnya. Lagu ghibli itu menemani kesunyian dalam mobil itu. Perjalanan itu memakan waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di rumah sang kakek.
Selama perjalanan, Vica kembali memejamkan matanya karena masih mengantuk dan sangat kelelahan. Setelah sampai di rumah sang kakek, Azka baru menyadari kalau Vica tertidur. Akhirnya, ia menggendong tubuh Vica dan membawanya ke kamar tidurnya.
“Loh? Vica kenapa itu?” tanya sang kakek dengan ekspresi yang terkejut.
“Ketiduran, mungkin dia capek pas penerbangan tadi,” jawab Azka.
“Oh.”
Sekitar tiga jam kemudian, Vica terbangun dari tidurnya. Ia lalu berdiri ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Setelah air menyirami wajahnya, ia lalu melihat ke arah cermin cekung yang memantulkan wajahnya.
Tak sengaja, ekor matanya menangkap seorang wanita berambut panjang tinggi menggunakan baju berwarna merah di pojok kamar mandi dekat ember yang biasa digunakan untuk mencuci pakaian.Ia lalu mengusap-usap matanya lalu menoleh ke arah ember tersebut dan …, tak ada apa-apa.
“Apa aku salah lihat, ya? Tapi itu jelas banget kalau ada wanita itu di sana. Hah, mungkin memang salah lihat,” batin Vica.
Kakinya melangkah keluar dari kamar mandi itu lalu kembali masuk ke dalam rumah kakeknya.
“Om Swastyastu,” salam Vica sambil melepas sandal jepitnya.
“Swastyastu, dari mana aja lo, Ca? Lama amat di kamar mandi,” tanya Azka sambil mengunyah makanannya.
“Namanya juga sembahyang dulu tadi.” Vica berbohong kepada Azka.
“Oh.”
“Yaudah, gue masuk kamar dulu. Mau beresin koper ama baju.” Kakinya melangkah ke kamar dan membereskan barang-barang yang ia bawa dari Jogja.
Saat ia sedang sibuk membereskan kamarnya, dari belakang, rambutnya seperti dijambak dengan kuat sampai ia terjatuh ke belakang. Tengkoraknya menyentuh keramik lantai kamar itu sampai kepalanya terasa sangat pusing dan pandangannya memburam.
Samar-samar, ia melihat kalau perutnya diduduki oleh seorang wanita yang ia lihat di kamar mandi tadi. Kali ini, wanita itu memperlihatkan wajahnya yang penuh dengan darah dan sebelah wajahnya adalah tengkorak.
Langkah kaki terdengar dari tangga dekat kamar itu. Namun, semakin lama semakin keras dan awalnya yang ia dengar hanya dua kaki yang melangkah, malah sekarang ia mendengar langkah kaki yang ramai.
Sudah wanita seram itu tak kunjung hilang dari pandangannya, ditambah lagi langkah kaki yang ramai itu. Dan …
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Truth [Hiatus]
Fantasy[HARAP FOLLOW SEBELUM BACA] "Aku harus bisa kembali menggunakan ilmu itu bagaimana pun caranya sebelum terlambat atau aku akan menyesal." -Ataya Vica. Tentang seorang gadis berumur 15 tahun yang bernama Ataya Vica. Ia memiliki kepribadian yang pen...