Hutan

2 0 0
                                    

Bubuk-bubuk kasar yang berwarna putih itu bagaikan salju yang turun di musim panas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bubuk-bubuk kasar yang berwarna putih itu bagaikan salju yang turun di musim panas. Menyelimuti tanah dengan lapisan yang tipis seperti kain kafan yang menutupi kematian.

Setelah wanita itu menghilang, sang kakek menyimpan kembali garam ke dalam plastik hitam besar yang ia bawa. Kakek pun berjalan menuju rumahnya dengan tenang.

Sesampainya ia di rumahnya, kakek langsung meletakkan plastik itu di dapur kemudian berjalan ke kamarnya untuk beristirahat.

Cahaya pagi mulai muncul bagaikan jari-jari halus yang membelai wajah. Bukan bermaksud lain selain membangunkan insan yang masih tertidur dan terjebak dalam mimpi yang fiksi. Mentari mulai naik ke atas bumantara untuk menyinari langit dan menampakkan hamparan biru yang luas bagaikan lautan tanpa batas.

Burung-burung mulai bernyanyi dengan riang bagaikan orkestra alam yang menyambut pagi yang begitu indah.

Vica meregangkan tubuhnya dengan malas. Raganya begitu sehat dan bugar, tak seperti tadi malam yang penuh dengan kejadian yang rasanya di luar nalar manusia. Ia lalu berdiri kemudian melangkah ke jendela kamarnya.

Ia kemudian membuka jendela kamarnya dengan kedua tangannya. Angin segar mulai memasuki ruangan itu, membawa aroma dupa yang terbakar juga bau tanah yang basah dikarenakan embun. Vica menghirup udara itu dalam-dalam, merasa terlahir kembali.

Pemandangan di luar jendela begitu indah. Hamparan langit biru, awan putih yang berarak-arak, dan pepohonan yang hijau rindang. Ia merasa damai dan tenang daripada semalam yang penuh dengan rasa takut.

Senyum tipis bagaikan sinar mentari pagi yang menerobos celah awan, menghiasi bibirnya. Dengan langkah kaki yang ringan bagaikan bulu, Vica melangkah keluar meninggalkan kamarnya.

Kakinya melangkah menyentuh kayu lapuk yang menjadi alas rumah itu. Aroma kopi hitam khas kakeknya mulai tercium menusuk indra penciumannya.

Di teras rumah, ia menemukan sang kakek tengah khusyuk membaca koran. Matanya menjelajah setiap baris dan kata tentang berita terkini.

Vica mendekati kakeknya perlahan, berusaha tak mengganggu konsentrasinya.

Dadong,” panggil Vica dengan lembut, “dadong lagi baca apa?”

Sang kakek menolehkan kepalanya ke arah cucunya seraya menurunkan koran dari pandangannya. Senyum tipis terpatri di wajahnya, garis-garis halus di sekitar matanya bagaikan peta kehidupan yang penuh dengan cerita dan pengalaman berharga.

Dadong sedang membaca berita tentang pemilu kemarin, Ca,” jawab kakek.

Vica mengangguk kecil, ia langsung berjalan ke arah kursi bambu yang tempatnya tak terlalu jauh dengan kursi kakeknya.

Waktu seakan berhenti selama berabad-abad ketika mereka terdiam satu sama lain. Hanya suara gemerisik koran yang merobek keheningan, seakan-akan mengiris udara di antara mereka. Sang kakek, dengan tatapan yang seakan menembus atma, begitu serius membaca koran tersebut. Seperti ada harta karun yang sangat berharga. Padahal hanya berita pemilu beberapa waktu lalu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Silent Truth [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang