Happy Reading 🤍
Sesampainya di Rumah Sakit Sentosa, Zeandra bergegas menuju meja resepsionis. Jantungnya berdebar kencang. Dengan perasaan cemas yang membuncah, ia mendekati petugas resepsionis.
"Permisi," sapanya, suaranya sedikit gemetar. "Saya ingin bertanya, ruangan untuk pasien atas nama Farah Az-Zahra, di mana ya?" Ia mencoba untuk tetap tenang, namun kecemasannya jelas terdengar dalam suaranya.
Petugas resepsionis, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah, menatap Zeandra sejenak. "Sebentar ya, Bu. Saya cek dulu," katanya, sambil mengetik di komputer. Ia tampak cekatan dan profesional. Sambil menunggu, ia menambahkan, "Semoga pasiennya baik-baik saja, ya." Senyumnya tulus, mencoba untuk menenangkan Zeandra.
Setelah beberapa saat mengetik dan memeriksa data, petugas resepsionis itu menatap Zeandra kembali. "Pasien atas nama Farah Az-Zahra saat ini sedang dirawat di ruang ICU, Bu. Nomor ruangannya 307." Suaranya terdengar sedikit serius, namun tetap sopan. Ia menambahkan, "Mohon bersabar, ya. Keadaan di ICU memang cukup ketat."
Mendengar kata "ICU", hati Zeandra terasa mencelos. Ia menyadari bahwa kondisi Farah jauh lebih serius dari yang ia bayangkan. Perasaan campur aduk memenuhi hatinya: kecemasan, kekhawatiran, dan sedikit rasa bersalah karena baru mengetahui kondisi Farah sekarang.
"Terima kasih atas informasinya," ucap Zeandra, suaranya sedikit gemetar. "Bisa tolong beri tahu saya di mana lokasi ruang ICU?" Ia mencoba untuk tetap tenang, namun tangannya terasa dingin.
Resepsionis tersenyum simpatik. "Ruang ICU ada di lantai tiga, Bu. Dari sini, Ibu bisa naik lift di sebelah sana, terus belok kiri di ujung koridor, Ruang ICU ada di ujung sebelah kanan. Ada petunjuknya kok, jangan khawatir." Ia memberikan petunjuk yang jelas dan ramah, mencoba untuk menenangkan Zeandra.
Zeandra mengucapkan terima kasih, kemudian bergegas menuju lift, langkahnya terasa berat. Hati yang dipenuhi kekhawatiran mendorongnya untuk segera sampai di ruang ICU, melihat sahabatnya, Farah.
Sesampainya di depan ruang ICU, Zeandra melihat deretan pintu ruangan yang tampak steril dan sunyi. Ia menemukan nomor ruangan 307 dan melihat sekilas ke dalam melalui jendela kecil di pintu. Farah terbaring di tempat tidur, wajahnya pucat, terlihat sangat lemah dan sedang tidak sadarkan diri. Pandangan Zeandra tertuju pada alat-alat medis yang terpasang di tubuh Farah. Melihat kondisi sahabatnya seperti itu, hati Zeandra semakin sesak. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
Ia memutuskan untuk duduk di ruang tunggu khusus pasien ICU, menunggu dokter yang bertugas malam itu. Ia butuh penjelasan, ia butuh tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Farah. Di ruang tunggu yang sunyi itu, Zeandra hanya bisa berdoa, memohon agar Farah segera pulih dan kembali sehat.
•••
Zeandra terbangun dengan perasaan bingung. Pandangannya masih menyesuaikan diri dengan cahaya remang-remang ruang tunggu yang mulai sepi. Jam menunjukkan pukul delapan malam. Ia masih berada di rumah sakit, di ruang tunggu ICU. Rasa sedih dan cemas kembali menyergapnya. Ia belum mendapatkan informasi apapun tentang kondisi Farah.
Ia mencoba mengingat kembali kejadian sejak tadi. Sejak memasuki ruang rawat Farah, ia berharap bisa bertemu dokter yang merawatnya, mendapatkan penjelasan tentang kondisi sahabatnya itu. Namun, selama berjam-jam, ia hanya melihat beberapa perawat yang sibuk memeriksa, memberikan perawatan, dan memonitor kondisi Farah. Tidak ada dokter yang terlihat.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Journey Of Love (REVISI)
Literatura FemininaSemuanya berawal ketika Zeandra dipindah tugaskan ke Bandung, yang mengubah kehidupannya secara drastis. Hidupnya menjadi sangat epik ketika ia harus berurusan dengan atasannya yang menurutnya annoying. Adu mulut seringkali memecah ketenangan, membu...