Prolog

4.2K 109 7
                                    

Ruang keluarga yang lebarnya lumayan luas terlihat sangat berantakan. Pecahan kaca, gelas, piring berserakan di mana-mana. Suara teriakan bercampur tangisan sangat terdengar jelas di dalam ruangan yang hanya berisikan dua orang perempuan.

"Cukup, Kak! Aku bilang hentikan!!" Suara teriakan frustasi bercampur tangisan terdengar memilukan.

Kain yang menutupi meja dengan hiasan diatasnya vas berisikan bunga Lavender, secara kasar ditarik sampai membuat vas tersebut hancur berantakan di lantai.

"Kakak cukup! Aku mohon!" Suara isakan tangisnya langsung memeluk tubuh kakak perempuannya, dengan rambut sedikit terurai berantakan dari depan.

Kakak perempuan itu memberontak—berteriak untuk meminta dilepaskan. Namun, teriakan itu membuat seorang adik semakin erat memeluk kakaknya berusaha untuk menenangkan.

"Kak Aliya... Jangan marah-marah lagi, aku mohon. Nanti bunda marah sama adek lagi. Aku takut dimarahi bunda, Kak."

Seorang kakak perempuan dalam pelukan adiknya—mendengar tangisan itu membuatnya terdiam. Tangan kanan Aliya perlahan keluar dari dekapan adiknya lalu ia letakkan di atas puncak kepala adik perempuannya—mengusap-usap dengan lembut.

Merasakan sentuhan itu membuat sosok adik perempuan menatap kedua mata kakak perempuannya yang masih meninggalkan air mata.

"Kak Aliya pasti capek, ayo ke kamar saja. Istirahat, nanti aku nyanyikan nina bobok biar cepat tidur." Aliya mengangguk mendapatkan tawaran adik perempuannya.

Aliya Brigitta Caroline biasa dipanggil Aliya. Gadis cantik memiliki kulit putih, rambut panjang hitam pekat. Sayangnya banyak yang mengira perempuan berusia 24 tahun itu gila.

Kebenarannya dia memiliki trauma di masa lalu sehingga membuatnya sedikit bermasalah dengan jiwanya, bukan berarti gila melainkan depresi.

Aliya seorang gadis yang masih memiliki belas kasihan atau sayang kepada adik perempuannya walaupun jiwanya sedikit terguncang. Dia sebenarnya baik, tapi kondisinya sekarang membuatnya mudah marah-marah. Apalagi kalau keinginannya tidak tersampaikan, akan menjadi fatal seperti merusakkan benda apa saja yang ada disekitarnya.

Baru saja melangkahkan kaki, gadis berusia 20 tahun itu dibuat terkejut dengan teriakan seorang wanita. "Haruka! Kenapa rumah sangat berantakan sekali, pecahan kaca di mana-mana. Semua barang-barang di rumah ini hancur."

Matanya melotot saat tak sengaja melihat bercak darah di lantai. Wanita ini langsung lari mendekati Aliya dan menyingkirkan tangan Haruka yang berada di kedua bahu Aliya.

"Kamu apakan kakak kamu?! Ini semua darah, pasti kakak kamu terluka lagi gara-gara kamu. Bisa nggak sih kamu itu jaga kakak kamu yang benar. Bisanya cuma nyusahin jadi anak!"

Haruka meremas ujung kain bajunya dari bawah. "Enggak, Bun. Haruka enggak ngapa-ngapain. Tadi, kakak marah-marah terus ngerusak barang-barang yang ada di ruangan ini."

"Jangan salahkan kakak kamu! Ini semua gara-gara kamu." Wanita berusia 48 tahun menekan setiap ucapannya. Dia benar-benar geram kepada anak keduanya, seolah semua ini salahnya.

Wanita yang masih terlihat muda cantik itu langsung membawa Aliya naik ke atas untuk menuju ke lantai dua.

Haruka mendongak dengan cepat menatap wanita yang tengah berjalan. "Tapi, Bun, di sini Haruka tidak salah. Haruka sudah semaksimal mungkin menjaga kakak dengan baik."

Teriakan Haruka membuat bundanya menghentikan jalan lalu menoleh ke bawah, di mana terdapat anak gadisnya yang tengah menatap sendu ke arahnya. Seolah meminta belas kasihan.

"Bereskan semua barang-barangnya. Bunda kembali harus sudah selesai." Setelah memerintahkan anaknya, Fara kembali jalan membawa putri pertamanya.

Haruka menunduk lemas, percuma juga dia membela diri karena di mata bundanya sudah di cap sebagai anak yang buruk. Cairan bening menetes berulang kali mengenai kakinya sendiri. Perih. Darah yang berceceran di lantai itu darah dari kakinya, kakinya terluka. Akibat tak sengaja menginjak pecahan kaca saat menghentikan kemarahan kakaknya.

"Adek...," Suara seorang pria dewasa membuat Haruka menoleh ke samping kiri. "Kaki kamu terluka ya? Sini Ayah obati."

Seketika tangis Haruka pecah kembali mendapatkan sosok laki-laki yang menjadi cinta pertamanya selama ini.

Haruka langsung memeluk ayahnya tanpa ragu. "Ayah. Adek nggak salah apa-apa. Adek cuma bantu kakak yang marah-marah."

Pria dewasa berusia 50 tahun. Laki-laki yang paling sabar di dalam hidup Haruka. Pria ini mengusap punggung belakang putrinya sembari mengecup puncak kepalanya.

"Sst... sst... Maaf 'kan bunda ya, Dek. Mungkin bunda lagi kecapean aja makanya kayak gitu."

"Apakah capenya tiap hari, Yah? Sampai marah-marahnya juga setiap hari ke adek."

Arga tersenyum kecut mendengar pertanyaan putrinya dan tangisan itu membuat hatinya terasa sakit. Selama ini ia tidak pernah marah atau menyakiti seorang perempuan, salah satunya istrinya sendiri. Sebab itu, saat melihat istrinya memperlakukan kasar putri kandungnya rasanya hancur.

"Sudah. Lebih baik kamu ke kamar nanti Ayah susul."

Haruka mendongak memperlihatkan mata sembabnya. "Tapi, Yah, bagaimana dengan ini semua?"

Arga tersenyum tipis lalu mengusap mata sembab putrinya. "Nggak apa, biar Ayah aja yang bersihin. Lihat kaki kamu, kasihan, keluar darahnya. Minta segera diobati itu."

-Bersambung-

📝 Sabtu, 01 Juni 2024

Lavandula [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang