𝐈𝐈

399 57 4
                                    

Semuanya hitam, tak ada apapun, rasanya hampa. Oh, Hannell merasakan air menetes di wajahnya, apa itu air dari surga? Ah, apa dari neraka? Bukankah seharusnya panas?

Matanya terbuka, menatap sekitar, mayat-mayat tergeletak dimana-mana, ternyata ia masih hidup. Hujan turun, semakin deras, membersihkan kabut dan asap yang tersisa dari kebakaran hebat tadi. Langit sudah gelap. Wajahnya penuh luka, pakaiannya bersimbah darah, sekujur tubuhnya ngilu. Hannell yang merasa pandangannya buram memicingkan matanya, berusaha mencerna apa yang terjadi. Sial, pasukan prajurit Gervais masih ada di tempat ini.

Matanya terbelalak, seorang pria dengan tubuh tinggi dan besar hendak menghampirinya. Hannell memperhatikan pakaiannya, ah, dia Cedric de Gervais, si tiran gila. Sial, harusnya ia memang tak usah berharap apa-apa, sudah pasti akan mati, bukan?

Cedric berjongkok, matanya menatap Hannell lamat-lamat. Memperhatikan sekujur tubuhnya, pakaiannya, rambutnya. Seperti mencoba mengenali laki-laki didepannya ini. Hannell tentu panik, matanya menatap segala arah mencoba mencari pedang. Cedric menangkup wajahnya, memaksa Hannell berkontak mata dengannya. Tatapan Cedric lalu tertuju pada lambang di pakaian Hannell.

"Ah... Kau Hannell, bukan? Hannell la Finnegan, pangeran pertama Finnegan, julukanmu "putra mahkota gagal" ya kalau tidak salah?" celetuk Cedric.

Ucapan itu cukup membuat Hannell geram, ia kesal, namun tak ada yang bisa ia lakukan. Aura si Cedric-Cedric ini ternyata memang semenyeramkan itu ya? Rasanya bergerak sedikit saja akan ditebas.

Seorang prajurit menghampiri mereka, prajurit itu sadar, Hannell masih hidup. Prajurit itu dengan sigap langsung mengeluarkan pedangnya. Cedric tetap diam, ia lalu memberi isyarat "berhenti" dengan tangan pada prajurit itu.

"Tidak, simpan pedangmu," kata Cedric yang dibalas gestur membungkuk oleh si prajurit.

Cedric tersenyum simpul, lalu menolehkan kepalanya pada prajurit-prajuritnya, "Semuanya telah mati? Jangan sisakan satupun, kecuali yang satu ini."

Perkataan tersebut mampu membuat iris Hannell terbelalak, "Mavin, bawa dia ke dalam kereta kuda, bawa menuju Gervais, sisanya urus mayat-mayat ini," lanjut Cedric.

"Baik, yang mulia," balas Mavin, prajurit terbaik Cedric.

Apa-apaan ini? Ia dibawa ke Gervais untuk apa? Sebagai tawanan? Apakah salah satu orang tuanya masih hidup? Lagipula tidak akan berguna, ia saja tak pernah dianggap. Kalau bukan, untuk apa? Apa ia akan disiksa? banyak sekali pertanyaan di benak Hannell.

Saat Mavin hendak mengangkatnya, Hannell dengan cepat bangkit dari posisinya, sekuat tenaga mencoba untuk kabur, namun tiba-tiba ia ambruk. Hannell baru sadar, tulang kakinya patah tertimbun bebatuan. Kondisi apa ini? Apa ia memang ditakdirkan untuk mati? Tubuhnya bergetar tak karuan, perlahan kepalanya terangkat mencoba menatap ke arah Cedric.

Cedric tertawa "Apa yang kau lakukan? kau takkan bisa kabur, lagipula kabur ke mana? Seluruh anggota kerajaan Finnegan telah mati."

Mendengarnya, Hannell mematung.

Kereta kuda berjalan, melewati bukit dan jejalanan yang rusak. Jarak Finnegan dan Gervais bisa dibilang sangat jauh, mungkin membutuhkan satu hari dua malam. Hannell diam sepanjang jalan, termenung, memikirkan bagaimana kejadian paling mengerikan seumur hidupnya terjadi dalam kurun waktu satu hari. Dimana darah terciprat dan mengalir dimana-mana. Bahkan kini tubuhnya masih bersimbah darah. Hannell bingung harus bagaimana, ia tak tahu kenapa dirinya dibawa ke Gervais dan tidak dibunuh seperti anggota kerajaan lainnya, apa karena Gervais tak menganggap Hannell sebagai ancaman dan berpikir ia tak akan berbuat apa-apa? Kalau benar, sial, semua orang meremehkannya. Atau... Apakah ia dibawa ke Gervais untuk dijadikan budak? Ia berpikir untuk melompat dari kereta kuda dan kabur, namun bagaimana jika justru ia tertangkap dan berakhir sebagai bahan siksaan dan tak dibiarkan mati? Itu lebih mengerikan dibanding mati.

I'd Let The World Burn || JeongcheolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang