𝐈𝐕

358 58 7
                                    

Cahaya matahari menyorot kamar Hannell, membuat irisnya terbuka. Hannell memutar pandangannya, ia cukup bingung, terlihat dua pelayan wanita dan satu pelayan pria berdiri dihadapan ranjangnya. Hannell kemungkinan bangkit dari posisinya, membenarkan posisi poninya yang menghalangi pandangannya.

"Huh? Apa yang-" begitu Hannell hendak bertanya, ia teringat perkataan Cedric kemarin. Ah, hari ini ia akan berkeliling istana kekaisaran ya.

"Silahkan membersihkan diri, Tuan. Kami akan menyiapkan pakaian untuk anda," kata salah satu pelayan.

Hannell telah selesai membersihkan dirinya, salah seorang pelayan wanita nampak membawa sebuah kemeja putih serta korset dan celana berwarna hitam yang berhasil merebut atensi Hannell. Kedua pelayan wanita menempatkan diri di belakang tubuh Hannell. Membantu Hannell memakai pakaiannya, sang pelayan pria membuka korset, dan memasangnya pada lumbus- pinggang Hannell.

"Selesai, Tuan."

Hannell menatap pantulan dirinya pada cermin. Pakaian ini simple dan cukup membuatnya nyaman. Selera Cedric tak buruk juga, itu pikirnya.

Entah apa yang terjadi, kini, ia duduk di kursi, di samping danau, dan di depannya duduk seorang kaisar tiran dari kekaisaran Gervais. Teh dan bermacam-macam kue terhidang di hadapannya. Hannell bingung, bukankah mereka seharusnya berkeliling istana? Mengapa jadi pesta teh seperti ini?

"Makanlah, para pelayan bersusah payah menyajikan ini," ujar Cedric datar, sedang dirinya sendiri pun tak memakan satupun dari kue-kue tersebut.

"Tadi... Para pelayan telah menyiapkan makanan di istana terlebih dahulu, jadi aku sudah makan makanan penutup," balas Hannell.

"Benarkah? Jadi mau langsung berkeliling saja? Baiklah," kata Cedric sembari bangkit dari duduknya.

"Tinggalkan saja kami, tak perlu didampingi," lanjut Cedric, tiga pelayan yang sedari tadi berdiri di belakang mereka pun menundukkan kepala pertanda mengerti.

Salah satu pelayan memberikan sebuah payung putih berenda pada Hannell. Hannell cukup bingung, di kerajaannya, yang biasa diberi payung untuk berjalan-jalan adalah seorang ratu, permaisuri, selir nyonya, dan sebagainya. Apa karena budaya di sini berbeda dengan kerajaannya?

"Kemari," tutur Cedric, memimpin jalan di hadapan Hannell, tentu Hannell turut berjalan mengikutinya dengan payung yang ia genggam dan sandarkan di bahunya.

Sejujurnya Hannell cukup menikmati jalan-jalannya. Cedric sekali-kali bertanya, namun ia tak berisik dan mengajak Hannell berbicara setiap saat. Istana kekaisaran Gervais pun memang indah sesuai yang dikatakan Cedric, mereka berjalan perlahan menyusuri tiap Istana dan mansion mengikuti arah danau, Cedric pun menjelaskan nama dan fungsi tiap-tiap bangunan yang mereka lewati.

Mereka melewati suatu mansion dengan dinding berwarnakan abu-abu, dengan meja bangku-bangku pesta teh di tamannya. Dua bangku itu diduduki seorang wanita dan seorang pria. Mereka menatap tak suka pada dirinya dari kejauhan.

"Itu mansion para selir," celetuk Cedric.

Ah... Hannell mengerti, dua orang itu selir-selir Cedric, bukan?

Mereka terus berjalan, entah kenapa Hannell tak merasa lelah walau berjalan cukup lama. Mungkin karena ia menikmati udara dan suasana, selain itu, ia juga sudah lama sekali tak berjalan-jalan seperti ini. Cedric lalu menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah mansion besar.

"Apa saja kegiatan yang kau sukai?" kata Cedric tiba-tiba.

"Huh? Uhm, memanggang kue, melukis, dan membaca...."

"Tepat sesuai tebakanku," ujar Cedric, lalu menginjakkan kakinya di anak tangga mansion itu.

Mereka masuk, dan ternyata, ini adalah perpustakaan. Besar, di dalamnya penuh dengan ukiran, cantik sekali, Hannell tak dapat mengedipkan matanya. Semua rak terlihat penuh dengan buku, tak ada yang terlihat kosong sedikitpun.

"Lakukan apa yang kau sukai."

Hannell menyimpan payung yang ia kenakan. Berjalan menyusuri setiap rak besar di perpustakaan itu. Cedric asal membawa buku, lalu duduk di salah satu kursi. Hari ini sangat menyenangkan bagi Hannell, entah kapan terakhir kali ia merasakan hari tenang seperti ini. Terdengar suara beberapa pengawal berteriak secara tiba-tiba, diiringi dengan suara langkah kaki yang berlari. Suara dari luar perpustakaan tiba-tiba menjadi sangat bising. Hannell dan Cedric dengan cepat keluar dari bilik rak, memastikan apa yang terjadi.

Pintu terbuka dengan kencang, menciptakan suara dentuman yang menggema di setiap sudut perpustakaan. Nampak seorang wanita dengan pakaian lusuh dan jubah yang menutupi seluruh wajahnya, wanita itu membuka jubahnya, iris Hannell terbelalak, ingatan traumatis langsung bermunculan di kepalanya. Itu Marquess Lilie. Pintu kembali terbuka kencang, dua pengawal memasuki perpustakaan, mencoba menahan tubuh Marquess Lilie, namun tak sempat, Lilie membawa payung Hannell yang tersandar di dekat suatu meja, dengan ujungnya yang terbilang lancip itu, ia menusuk Hannell asal. Semua orang di ruangan itu terlalu terkejut dengan kejadian tiba-tiba ini, apalagi Hannell, melihat Marquess ini masih hidup saja ia tak percaya.

Darah mulai mengalir dari dahi kanannya. Tubuhnya mundur perlahan. Cedric dengan cepat merebut payung itu, menangkap kedua lengan Marquess Lilie dan membuatnya tersungkur.

"Idiot, cepat bawa wanita ini!" titah Cedric pada dua pengawal itu.

"Baik, Yang Mulia-"

"SIALAN! BAGAIMANA BISA KAU MASIH HIDUP, BAHKAN HIDUP SENANG DENGAN ORANG YANG MEMBUNUH KELUARGAMU? DASAR PELACUR-" Marquess Lilie berteriak, memaki Hannell sekuat tenaga sebelum mulutnya disumpal sebuah kain.

Keadaan ricuh, pelayan, pengawal, dan prajurit berkumpul di perpustakaan. Akhirnya, Hannell dibawa kembali ke kamarnya. Cedric tengah memanggil seorang tabib untuk menyembuhkan luka Hannell, ditemani dua pelayan wanita.

"Keluarlah terlebih dahulu, masuk kembali saat tabib telah tiba," kata Cedric, dan kedua pelayan itu mengangguk, lalu pergi meninggalkan Cedric dan Hannell.

Cedric berjongkok, "Raut wajahmu kembali seperti saat kau pertama kali datang ke Gervais, aku tak menyukainya. Jangan pernah kau merasa tersinggung dengan perkataan wanita tadi-"

"Sama sekali tidak. Untuk apa? Keluargaku pantas mati, kau tahu? Sebelum berperang denganmu, aku telah lebih dulu berperang dengan keluargaku sendiri dari sejak aku lahir," sorot matanya penuh penekanan, nadanya lirih.

"Walau begitu, setelah semua hal bajingan yang mereka lakukan... Rasa bersalah tetap membayangiku," suaranya gemetar, air mata mengalir di pipinya.

"Apa kau mengerti? Aku dihantui rasa bersalah setiap hari, setiap jam, setiap detik, setiap waktu. Kau tak akan mengerti Cedric, rasanya aku hampir kehilangan akal sehatku, disisi lain kau memberiku segala hal yang tak pernah kudapatkan di Finnegan, namun kau juga yang memberiku bayangan rasa bersalah itu."

Hannell merasa depresi, rasanya tak ada hari tenang, baru saja ia merasa hari ini menyenangkan, kejadian tadi malah datang. Cedric mendekapnya erat. Untuk pertama kalinya, Hannell meluapkan apa yang ia pendam selama ini.

Pintu terbuka, tabib telah datang, Cedric mempersilahkannya memeriksa luka Hannell. Para pelayan membawa sebuah nampan berisikan berbagai obat dan kapas. Mavin tetap berjaga, mendampingi bagaimana tabib membersihkan luka Hannell.

"Tak terlalu parah, Yang Mulia, namun tetap saja ini bukan luka ringan," ujar tabib.

Ruangan hening sejenak, "Berapa lama luka Hannell akan sembuh?" Cedric bertanya.

"Perkiraan satu Minggu, Yang Mulia," jawab tabib.

"Siapkan upacara pengangkatan selir agung dalam satu Minggu," celetuk Cedric, lalu meninggalkan ruangan.

Satu ruangan terbelalak, mematung. Bahkan Hannell, ia tentu langsung mengerti apa yang dimaksud Cedric. Hannell tahu tiran memang seorang kaisar gila, tapi si Cedric ini benar-benar sinting ya?

Mavin berlari ke luar ruangan, menyusul kaisarnya itu.

"Yang Mulia! Anda gila, ya!? Tuan muda Hannell itu dulunya musuh anda! Bisa-bisanya anda hendak menjadikannya selir, terlebih, selir agung!?"

"Aku tak menjadikannya permaisuri, bukan? Tak akan ada masalah, lagipula ia tak bisa melakukan apa-apa, ia tetap berada di dalam kendaliku. Berhenti mengoceh, lakukan saja tugasmu. Lalu masukkan wanita tadi ke penjara bawah tanah."

I'd Let The World Burn || JeongcheolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang