Etalase di Sudut Kota

8 1 0
                                    

Sebuah kesalahan memang jatuh pada diriku setelah tahu faktanya bahwa bukan hal menyenangkan bisa menjadi bagian dari orang-orang yang berlalu-lalang di matamu. Benar, aku datang berkunjung untuk mencari apa yang tidak kutemukan dari toko ke toko. Tapi siapa sangka hal lain masuk ke dalam daftar pencarianku begitu mataku menangkapmu di antara etalase dan aku masuk dalam daftar pengunjung saja untuk saat ini.

Etalase di sudut kota, kamu bekerja dan aku berkunjung sebagai tuan dan tamu tanpa nama.

Ruang kecil antar rak yang sudah rapi; makanan, minuman, makanan belum matang, dan alat rumah tangga tanpa tangga di sana. Perjalanan dan kebiasaanku selalu terealisasi dengan baik, tapi bukan tradisi yang sengaja terjadi. Aku hanya senang mengelilingi jalan kecil yang muat dua orang dewasa atau tiga anak kecil (selama tidak gembul dan aku tidak bermaksud menyinggung), lalu menelaah satu per satu label putih atau kuning pada tiap barang di setiap etalase. Tapi tujuan lainnya dan kali ini maksudku jelas: aku pemburu diskon.

Adikku tidak lebih tua dan sangat muda di sampingku. Jadi wajar bila dia menelaah deretan kulkas dan membenamkan diri dalam hawa dingin, manggut-manggut selayaknya anak muda dengan dalih sedang memilih sambil menodongkan peluru dengan amunisi tanya yang membumbung lagi.

Aku juga tua dan banyak tanya, jadi tidak wajar. Tapi aku maklum dan sepertinya aku ikut-ikutan menjadi anak kecil dengan keadaan.

"Beli es krim saja, ya?" begitu pertanyaannya dan pula matanya meminta jawaban padaku.

Aku diam dan menelaah. Bukan tidak mau, atau mau, atau bilang saja aku punya kemungkinan menolak dan mencari alasan dengan pertanyaan yang ada. Jiwaku tidak dirancang untuk menjadi kakak licik atau bukan kakak. Hanya saja suara bisu dari dalam tasku menjelaskan pengampunan bahwa tidak ada yang tersisa di antara dompet biru kesayanganku selain uang biru, yang sedikit lagi membiru dengan kertas-kertas hasil belanja tiga bulan lalu.

Tapi aku kakak baik dan sedang ada kemauan juga. Jadi aku mengangguk hingga adikku tidak sungkan lagi meninggalkan kulkas dan hawa dingin menuju hawa dingin lainnya, tapi lebih dingin lagi dari seisi ruangan. Di sana ada tujuan kami yang teralihkan setelah tiga pencarian antar toko demi mendapatkan titipan ibu kami.

Oh? Aku ingat uang biru dan uang hijau lain di saku jaketku berasal dari dompet biru lainnya, tapi milik ibu. Sepulang dari toko, aku akan meminta maaf dan tertawa canggung padanya bila yang milikku saja tidak bisa memenuhi keinginan aku dan adikku.

Waktu itu hampir dua setengah jam kami diluar rumah dan di dalam toko melakukan pencarian antar jalan dan antar toko lainnya. Kemudian aku dan adikku menyerah oleh waktu karena kami harus pulang sebelum matahari kembali tidur dan hilang di sisi barat. Sisi baiknya, tangan kami tidak kosong dan terisi oleh keinginan: es krim!

Inilah yang tidak kuduga meskipun sekali aku pernah melihatmu. Di tempat yang sama, paras dan kacamata yang bertengger itu masih sama. Barangkali jenisnya sudah berganti, tapi kamu tetap kamu. Kalau ditanya kamu siapa? Kuserahkan semuanya pada ketidaktahuanku.

Aku dan kamu tanpa nama masing-masing, tapi aku tahu itu kamu.

Dua batang es krim dengan stik dan satu dalam tempat, itu punyaku. Adikku menunggu dengan sabar di sisi kanan menuju jalan keluar, tapi juga keruh melihat warna diluar semakin samar dan tertimpa oleh temaram senja. Dia tidak tahu aku kehabisan akal jumlah uang yang harus keluar oleh keinginan kami, atau rasa gugup yang meronta-ronta di palung hati.

Apapun itu, aku tidak banyak bereaksi selain mencuri setiap sudut yang masih tersedia. Kamu di belakang kasir mengenakan jam tangan di sebelah kiri, jelas kamu pengguna dominan. Kacamata itu terlihat umum, aku bohong. Itu sangat cocok dengan parasmu. Aku punya kartu jaminan dan keyakinanku tidak dapat diganggu gugat lagi: kamu lebih daripada aku dan adikku. Atau aku terlalu semampai seperti ibu mewanti-wanti hampir setiap waktu? Atau terlalu muda-

Oke, berhenti sampai di situ. Aku terlalu percaya diri, tapi tidak mau meragukan keyakinan yang sudah terukir. Kamu berbeda, itu sudah pasti.

Beritahu aku, ada berapa banyak orang dengan jenismu yang begitu lembut dan tenang menangani sosok yang bersinggah? Aku mau berasumsi kalau sepi menjadikan kamu lengah, atau kebiasaanmu mendarah daging? Aih, tidak ada jawaban tanpa pertanyaan dan pernyataan. Tapi siapa yang harus memulai di saat aku dan kamu sama-sama singgah saja?

Kantong belanja berisi es krim di atas meja kasir kamu rapikan dan sambil lalu memantau layar dengan angka dan nama. Begitu seterusnya sambil aku menunggu dan menemukan puncak dari ketidakberdayaanku. Nama yang bergelantungan dalam kotak kecil di dada kananmu.

Nama milikmu.

"Totalnya enam puluh enam ribu lima ratus rupiah, mbak," ujarnya kini dengan senyum jelas di bibir dan kedua mata di balik kacamata itu.

Aku kembali ke dalam kenyataan, masih setengah berangan-angan dan tenggelam. Tapi aku berhasil menggeledah isi dompet dan uang terakhir milikku ditambah milik ibuku. Aku tidak menunggu lama dan meletakkan semua yang ku punya di antara pembatas kita. Tentu itu kebiasaan, bukan menghindar darimu dan sentuhan yang mungkin terjadi.

Bibirku bisu, tapi mataku merekam semua yang ada padamu. Kemudian satu hal menjadi penyesalan begitu telingaku mendengar tawa kecil yang meredam kecanggungan dan kelalaianmu. Aku merasa bodoh bisa menjadi tamu yang mendapatkan senyuman manis milikmu, meski itu sekadar formalitas saja.

Sungguh bodoh, itu penyesalanku.

Negosiasi selesai saat kamu mendapatkan koin besar dariku, dan itu menjadi akhir dari kecanggungan dan kelalaian di antara kita. Aku dan adikku tidak ada urusan lagi di toko itu, tentu kami harus pulang. Ruang dingin yang menyisakan kamu di antara etalase adalah pemandangan terakhir yang bisa kurekam hari itu.

Aku dan kamu selesai menjadi tuan dan tamu di dalam pertemuan antar pencarianku. Jadi berikutnya, apa aku boleh singgah lagi?

Mungkin besok, lusa, atau nanti. Di hari kemudian, aku tidak mau menyesal lagi dan memberikan namaku, wahai kamu yang mencuri daftar pencarianku.

Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang