Berenang Dalam Lautan Kabut

3 0 0
                                    

Ayo teruskan! Kalau aku menghirup udara yang tidak ada di bawah sana, maka sama saja mati. Di antara gelembung-gelembung yang hanya khayalan saja, yang bangun jam 11 malam dengan bisikan halus.

Berenang dalam lautan kabut, mencari diriku.

Anak itu menguburkan sepuluh jari tangannya, sepuluh jari kakinya, kedua matanya juga masuk ke dalam. Dia tidak kuasa menggenggam apapun, bahkan satu atau dua jemari, atau udara yang memang tidak ada di bawah sana, atau rangkaian daging berlapis di sebelah kiri. Anak itu adalah aku yang berenang tanpa menemukan pulau.

Akhirnya aku beristirahat sehabis dua kali menelan apa yang tidak ada dan yang ada dalam kepala. Katanya seorang temanku, "Semakin banyak yang kamu cari, semakin banyak yang membuatmu kebingungan". Hari ini pun, pukul 11 malam aku juga kebingungan mencari jariku yang terkubur dalam-dalam di bawah sana.

Siapa yang bisa menggenggamnya? Aku juga sedang mencari orang yang mampu mengambil kerisauan anak itu.

Perjalanan yang anak itu lewati cukup panjang. Satu hari di depan layar, dua hari berlayar, tiga hari pun tenggelam. Tidak ada yang menyadari kapalnya sudah bocor sedari awal, tapi dia melanjutkan di depan layar, berlayar, dan tenggelam. Naasnya tidak ada wajah yang terukir tum mengungkapkan rasa apalagi hari ini? Bibirnya ikut terkubur di bawah sana.

Aku heran, kenapa anak itu harus aku? Bercerita dengan sosok yang tidak nyata pun dalihnya, "Kamu mendapat anugerah". Aku bahkan tidak tahu bentuknya harus seburuk rupa itu sampai mencabik-cabik habis lapisan daging di sebelah kiri. Tatkala aku lupa bahwa aku manusia yang memanusiakan orang lain, sama saja menari di atas skenarioku sendiri.

Bodohnya anak itu. Akhirnya dia cuma bisa mengisap yang tidak ada sambil mencari semua jemarinya, lekukan bibirnya, dan lapisan daging di sebelah kiri yang terbabat habis.

Kini tertinggal kedua bola matanya. Rupanya sudah kering dan kosong, sedikit lagi terkubur di bawah sana. Dalam kabut yang akan menenggelamkannya, aku tidak mencoba meraih anak itu. Hanya bertanya-tanya.

"Kenapa kamu mau berenang dan tenggelam di sini? Kamu tidak pandai berenang, tidak pandai berlayar juga, tidak pandai tenggelam juga," sarkasku pada kedua bola matanya.

Tidak ada bola mata yang bisa berbicara, tapi jejak hujan yang tertinggal sejam yang lalu masih basah di bawah sana. Kesepian menggema, tidak lagi risau berlagak sebagai anak-anak.

Aku mendengar bibirnya yang terkubur menelan pahit yang paling pahit dari rangkaian daging berlapis di sebelah kiri, setelah itu dia berani menantangku.

"Aku tidak tahu rasanya berenang, atau berlayar, atau tenggelam. Jadi kalau pahit, ya sudah pahit. Kalau manis, ya biarkan saja manis..."

Mungkin aku tidak sadar bahwa kuas yang kubawa untuk melukiskan cerita dan wajahnya di sini adalah bentuk penghakiman dan penyesalan. Bahwa aku tahu anak itu adalah aku yang menangis dan tenggelam sesukanya.

Aku mungkin tidak tahu seperti apa aku, tapi kakiku masih ada tanpa jemari, tanganku masih ada tanpa jemari, dadaku bolong di sebelah kiri dan di kanan masih utuh, kedua mataku yang kering sehabis menguras satu baskom air, bibirku yang lelah bersembunyi, dan wajah yang sedangkan dilukiskan.

Aku masih aku.

Aku tidak tahu siapa diriku. Jadi kalau aku berenang dan berakhir tenggelam, berarti aku sedang tidak tahu apa yang terjadi di dalam lautan kabut bernama takdir.

Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang