Yang Lama Yang Berjaya

4 0 0
                                    

Kisah fiksi yang terjadi di duniaku tapi tidak nampak sampai ubun-ubun. Lebih tepatnya tidak ada yang nyata kalau aku mau percaya semuanya bisa ditangkap dengan kasat mata dan logika. Tapi benar adanya pengambilan kedudukan tidak mampu dipungkiri, bahkan oleh aku -pemilikmu. Maka namamu harus sengaja kutuliskan agar semua tahu kamu pernah ada.

Wahai kamu yang lama yang berjaya, Tuan Dee mati di bawah terang kuasa Tizo.

Sepertinya kamu sudah lama menemaniku setiap kali aku harus membuka layar tidak sebesar televisi dan tidak sekecil ponsel. Aku duduk di bawah meja, sedangkan kamu di atas meja menungguku. Kamu seirama dengan Nona Dee dalam sepi, tapi senada warnanya. Kadang aku iri karena kalian lebih dekat daripada aku yang memiliki kamu dan dia.

Sia-sia juga aku mengutarakan rasa yang menggerogoti hatiku kalau kamu memilih membisu sampai semuanya siap. Jadi kubiarkan saja kamu dengan Nona Dee selagi yang bekerja hanya aku lagi.

Sepertinya terakhir kali aku menoleh pada jam dinding dari lantai dasar dan lantai atas -di antara keduanya ada aku, kamu, dan Nona Dee-, waktunya sudah lewat makan siang. Siapa juga yang akan 'makan siang' kalau beras baru saja berubah menjadi nasi, dan nasi tidak mau berubah menjadi bubur?

Perutku tidak bersahabat lagi, jadi aku berpikir untuk makan bubur. Sedangkan kamu masih berpikir cara memikat Nona Dee dengan aksara penuh makna.

Aih, kenapa kamu sesuka itu sama Nona Dee, sih? Setidaknya ajak aku juga berbicara atau berkawan meskipun nasib kita sebatas babu dan pemilik. Tidak lebih, mungkin akan kurang seiring waktu.

Sepertinya aku lelah harus terus menatap layar putih dengan tulisan-tulisan kecil, atau besar, atau rata-rata kalau sedang beruntung. Kalau sedang apes, ada yang menaruh bahasa asing ke dalam aksara dan artinya yang banyak dan tidak akan habis semalam dibaca dan dipahami. Aku tahu kalau aku kelewatan lagi, tetapi begini cara menyiksa diri demi kebaikan.

Lama-lama kamu juga semakin hening dan tidak mengajak Nona Dee bercengkrama. Keikutsertaanku dalam arena yang tidak nampak di antara kamu, si Tuan Dee dan Nona Dee, dalam perjalanan menemukan makna dan aksara yang tidak ada habisnya di dunia semakin jelas bahwa pemilik sepertiku tidak bisa terus memilikimu.

Akhirnya waktu yang kupasang antara permainan kita dan Nona Dee habis.

Saat empat belas lebih dan lebih di sudut layar membekas, aku kehilangan dirimu.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Kamu tidak boleh seenak jidat meninggalkan Nona Dee begitu saja saat ragamu masih berada dalam genggamanku, si pemilikmu. Dia yang senada warnamu. Dia yang memiliki jejak-jejak hidupmu. Dia yang menjadi rumahmu bercerita seluruh kata. Tidakah engkau ingin mengucapkan salam terakhir sebelum pergi?

Tapi kamu juga diam meskipun aku berkoar-koar dan mencoba menenangkan Nona Dee yang tidak menampakkan aksaramu lagi. Aku ikut diam sejenak karena sekeras apapun aku mencoba... kamu tidak akan kembali.

Sepertinya aku memang yang berkhianat sebagai pemilikmu yang mencintai dalam sekejap mata dan membuang dirimu tidak lebih dari dua detik. Tizo di belakangku memanggilku, memberikan rencana baru agar Nona Dee tidak kesepian dan aku tidak kelabakan. Dia adalah kawan lama yang kubiarkan di balik punggungku, yang datang dan masih mau mengajakku berbicara dikala kamu berduaan dengan Nona Dee.

Pada akhirnya aku juga menjadi bubur yang ingin kumakan. Daripada harus mengenang kamu yang telah tiada dan yang tak pernah belajar mencintai warna selain dirimu dan Nona Dee, aku memanggil Tizo menggantikanmu. Maaf, tapi cintaku pun sudah habis bersama kepergianmu.

Nona Dee tersenyum dalam diam atau aku sepertinya melihatnya lebih bugar dengan cerita si Tizo. Aku mungkin juga lebih suka menjadi gila di antara hubungan pemilik dan babu ini.

Bagaimanapun aku bersuara lagi, yang lama yang berjaya lagi dan yang pergi sepertinya tidak akan kembali.

Selamat jalan, Tuan Dee.

Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang