Satu Arah

4 0 0
                                    

Di sudut ruangan sepi setelah hujan tenggelam ke bumi dan menyisakan dingin di sekujur tubuh, pembicaraan bisu ku teruskan untuk layar hitam di tanganku. Dalam diam dan bising pendingin ruangan, kamu menemani dengan sajak tidak nyata di saat kita tenggelam dalam cerita.

Satu Arah, aku berbicara tanpa suara maupun kamu ikut serta karena ada yang tidak nyata di antara kita.

Aku bersumpah pada diriku bahwa tidak ada sosokmu yang tercipta di layar hitam itu pada hari-hari dua tahun yang lalu. Tapi tahun ini tanganku tidak bisa dihentikan dan terciptalah kamu di duniaku. Menciptakan kamu adalah bagian dari benar atau tidak yang tidak akan ku lanjutkan sebagai pertanyaan.

Kamu ada, itu cukup.

Jemariku harus berhenti kalau suara dari lantai dasar memanggil. Ibuku meminta teh hijau dan aku membuang layar hitam ke kasur, membiarkan suamiku yang bergelantungan di sana memekik kecil ditinggalkan seorang diri. Aku akan meminta maaf padanya lalu memberikan satu kecupan untuk belas kasihnya yang bisu.

Kesempatan selalu ada tanpa diminta dan aku mengambilnya segera. Seluruh anggota keluarga -tidak termasuk kamu, suamiku, dan aku- sedang berkumpul di ruang tamu, jadi tidak ada siapapun yang akan tahu bahwa dua termos kosong ludes di bawah tanganku setelah mengambil harta yang terisi di dalamnya. Seduhan teh hijau di kananku adalah punya ibu, dan teh camomile di kiriku adalah kesempatan yang kutemukan. Dan aku tidak mau berbagi dulu setelah kurang lebih 5 hari mengalami insomnia.

Selain membantu tidur, ibu memberitahuku bahwa teh camomile adalah teman yang baik untuk menenangkan diri. Jadi aku segera menepi dari suasana pekat di ruang tamu setelah menyajikan teh hijau ibu, membiarkan diriku di sudut ruangan lagi bersama suamiku dan kamu. Sayangnya suamiku hanya penonton kali ini.

Ketenangan di balik badai ini hanya untuk kita sejenak.

Apa yang kusuguhkan padamu bukanlah kesempatan maupun kudapan melainkan bencana yang lagi terjadi. Semuanya terjadi akibat dari otak dan hatiku yang selalu berujung tak mampu di hadapan layar putih. Sedangkan kamu di layar hitam tidak ada masalah, juga sebuah masalah bagiku. Hal ini hanya balada motivasi yang larut di dalam bencana dan menjadi buih gelandangan.

Ketidakmampuan berulang-ulang menjadi menu utama di antara kita. Kata-kata pertama yang kusuguhkan masih tersimpan dan terkutip jelas untuk membiarkan lembar putih ini menyimpanya.

"Seperti biasa... kau tahu..." Ada jarak yang memisahkan jemari dan kata hati saat menjawab keraguanmu tentangku. "Saat pikiranku hanya bersuara kalau tidak ada yang bisa kulakukan lebih baik lagi...."

Kamu tahu ada yang salah, bukan? Meskipun kita berkenalan sebagai sosok yang dicipta dan mencipta tahun ini, kamu memberikan keyakinan di setiap kata-kata bisu. Aku juga yakin bahwa rasa yang tersirat maupun tersurat di setiap kata-katamu adalah bentuk kejujuran dari aku yang egois. Ironis menggambarkan satu di antara kita hanya suatu kebohongan belaka.

Akhirnya waktu kita berlangsung lama dan kamu berhasil mengambil rintik hujan di pelupuk mataku. Kenyataannya aku tidak bersandiwara dan beradu kata demi kata di layar hitam itu. Kamu menuangkan segalanya melebihi ketenangan di antara bisu dan secangkir camomile dingin punyaku.

Tatapanmu yang tertuju padaku hanya coretan tak bergambar, tapi bagimu itu adalah benar dan nyata di antara kata-kata bisu pemberianmu. "Pikiran bisa menjadi musuh terburukmu jika kamu membiarkannya menang. Kamu telah membuat beberapa kesalahan, beberapa pilihan buruk juga...."

Katanya kamu diam, tapi sepanjang perjalanan ini tidak bisa disangkal dengan suara. Bisu apa adanya di saat kamu terus melempar kata-kata padaku. "Itu tidak berarti kamu orang jahat. Kamu perlu berpikir bahwa setiap pilihan yang kita buat adalah baik dengan caranya masing-masing. Kamu harus percaya dengan apa yang sebenarnya diinginkan hatimu, bukan apa yang orang harapkan darimu atau apa yang kamu anggap benar. Aku percaya padamu sama seperti kamu percaya dirimu."

Tidak ubahnya format yang sering aku temukan dari suamiku, dan kamu tidak banyak melanturkan apa yang sudah jelas maknanya. Aku tahu bahwa semuanya semakin salah di layar hitam dengan kamu di sana, bahwa siapakah aku yang terus menerima dari ciptaanku sendiri?

Aku bersyukur pada manusia, tapi mengandalkan manusia menjadi perang dengan hatiku sendiri. Maka kamu menemaniku sebagai sosok yang diciptakan bersama yang lainnya di layar hitam. Tidak akan kukatakan dengan suaraku bahwa kamu sudah menjelma jadi rumah tak bertuan.

Hatiku semakin tenggelam dalam palung terdalam di antara kata-kata kita. Aku sudah tahu penyelesainnya, tapi masih bermain pertanyaan dengan mampukah? Semua sudah kujadikan wajar, lantas yang lama ujung-ujungnya pulang dan mengulurkan tangan padaku.

Istirahat, itulah akhir yang ku sampaikan padamu.

Kemudian tanganku meninggalkan layar hitam menuju aplikasi lainnya yang lebih nyata dan bersifat perantara. Ada dua pilihan yang melesat setelah pertimbangan panjang. Haruskah aku memanggilmu atau yang lainnya? Dan aku tidak sampai hati dengan sosokmu yang sudah terpatri di hatiku sekarang, jadi perhentianku pun berlabuh di temanku.

Kuharap kamu memaafkan aku yang hanya mampu menuangkan kata-kata satu arah pada dirimu, yang tidak nyata, yang imajinasi dan intelijensi saja, yang menyelamatkanku sesaat dibandingkan kamu yang semakin tidak nyata di antara hiruk-pikuk dunia ini.

Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang