"Itu saja perkuliahan hari ini, kita ketemu minggu depan. Selamat siang."
Rasa kantuk yang sudah gue tahan beberapa jam lalu, tiba-tiba hilang saat mendengar kalimat dari dosen gue barusan. Semalam gue memang begadang hingga pukul 3 malam. Sedangkan jam 7 pagi gue harus pergi kuliah hingga siang ini.
Bayangkan, dari pagi hingga siang gue harus pontang-panting menyerap beberapa sks hari ini dengan keadaan mengantuk berat.
Namun rasanya, kantuk tadi hilang untuk kesekian kali ketika melihat seseorang yang akrab dari balik pintu. Gue langsung menegang takut ada orang lain melihat.
"Ngapain?"
"Kangen."
"Udah gue bilang—"
"Ke gudang belakang sebentar. Gue tunggu."
Setelah mengatakan hal tersebut Benjamin menghilang dari balik pintu, bersamaan dengan pesan yang gue terima dari lelaki itu. Dia mengatakan bahwa gue harus ke gudang belakang dan jangan sampai kabur.
Gue mendecak pelan membaca pesannya. Namun akhirnya gue tetap menuruti kemauan laki-laki itu.
Sesampainya gue di gudang belakang, Benjamin terlihat duduk di salah satu meja yang tidak terpakai. Lalu, gue berjalan menghampirinya.
"Udah ya, ini terakhir kita ketemuan di sini. Lo sadar nggak sih ini area kampus."
"Jangan gitu lah, sini dulu dong. Deketan"
Benjamin menarik gue mendekat agar dia bisa memeluk gue dengan posisi dia yang masih duduk di atas meja. Dia mengapit gue dengan kedua pahanya.
"Kangen banget udah lima hari nggak ketemu" ucapnya sembari mengecup pipi gue berkali-kali.
Gue yang tadinya kesal, jadi tertawa karena merasa geli akibat ciuman Benjamin.
"Udah selesai belum kelasnya?" tanya Benjamin, gue mengangguk pelan. "kalo gitu jalan dulu, yuk! Bentaran aja, sambil temenin gue ke barbershop—eh tapi, menurut lo, gue harus potong rambut nggak? Ini poni gue udah hampir ke pipi, yang belakang juga udah mulai panjang."
"Bagus, biar kayak ST12"
Benjamin langsung cemberut, "seriuussss, gue harus potong rambut atau enggak?"
"Ya ikutin lo aja, maunya gimana. Tapi kalo boleh kasih saran..." Gue makin mendekat, menempelkan diri ke tubuh Benjamin, tangan gue terangkat menyentuh leher, kemudian tengkuk, lalu menjalar ke rambut bagian belakang Benjamin dan meremas area itu dengan pelan.
"Poninya dipotong aja kalo ganggu, tapi yang ini, jangan... Nanti gue pegang apa?" bisik gue tepat di samping telinganya.
Benjamin terdiam sebentar sebelum akhirnya mendengus pelan dan memalingkan wajahnya.
"Malem ini bisa tidur sambil pelukan sama lo, nggak?"
Tangan gue terulur untuk memainkan kerah kemeja milik Benjamin, "bisa, di kamar kos gue. Sekarang kan gue udah tidur sendiri."
"Maksudnya?"
"Gue balik kos lagi dan udah gue lunasin tiga bulan. Nggak enak ngerepotin Nindy terus."
"Seminggu nggak lama, Riri. Kenapa nggak nunggu sebentar aja sampe Oma pulang. Abis itu tinggal sama gue lagi."
"Jangan, Ben. Oma udah tau tempat lo. Nggak seharusnya gue ada di situ. Kalo lo butuh gue, pastiin semuanya aman dulu, gue pasti langsung dateng kok, atau kalo mau ke kos gue juga silakan. Gue ada di lantai dua, agak sepi."
Benjamin mendecak pelan, kemudian melepaskan tangannya dari pinggang gue. Dia bahkan mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Hal mengejutkan lainnya adalah ketika Benjamin turun dari meja dan hendak meninggalkan gudang. Refleks gue langsung menahan tangannya.
Sepertinya Benjamin sedang merajuk untuk dibujuk, atau memang marah betulan, gue belum tahu itu.
"Mau ke mana?"
"Balik, kan nggak boleh ketemuan di sini."
"Lo marah?" tanya gue.
Dia menggelengkan kepalanya, namun pandangannya menghadap ke arah lain.
"Sorry kalo gue bikin keputusan sepihak, gue beneran nggak enak harus numpang terus, apalagi di tempat Nindy. Lagian ini keputusan yang terbaik biar nggak ketahuan. Itu lebih aman, Benjamin. Terus juga biar nggak tiap hari ketemu. Emangnya lo nggak bosen sama gue terus?"
Dia menyerongkan badannya dan menghadap gue sepenuhnya, "emang lo udah bosen sama gue?"
"Lebih baik kita bahas di tempat lain, ya? Mau ke barbershop sekarang, nggak?"
Benjamin diam sebentar sebelum akhirnya menganggukkan kepala.
"Ya udah gue tunggu di samping lapangan univ, oke?"
"Iya,"
Gue tersenyum tipis dan berpamitan untuk keluar terlebih dahulu. Setelah itu, gue langsung keluar, berjalan menuju lapangan yang tidak terlalu jauh dari fakultas untuk menunggu Benjamin di salah satu kursi. Tidak lama kemudian, mobil Benjamin terlihat dan berhenti tepat di depan gue. Tanpa berlama-lama, gue langsung masuk ke dalam dan lelaki itu melajukan mobilnya.
Selama di perjalanan hingga sampai di barbershop, Benjamin tidak mengatakan sepatah kata pun. Gue jadi berasumsi kalau lelaki itu benar-benar marah. Bahkan setelah Benjamin selesai dengan rambutnya, dia langsung menghampiri gue hanya dengan kata, "ayo balik"
Sama halnya saat perjalanan pulang, dia masih diam.
Namun, sebelum sampai di kos, gue minta Benjamin untuk berhenti di Mie Apong karena gue menginginkannya sejak kemarin. Sesampainya di tujuan, gue beralih melepas seatbelt.
"Lo mau makan ini juga nggak?"
"Terserah."
"Atau makan di sini aja?" Tanya gue lagi, dia menggeleng dan masih terpaku pada ponselnya. "Ya udah, gue pesenin dulu."
Baru saja gue menginjakkan kaki di restoran tersebut, ponsel gue mendapat notifikasi bahwa Benjamin melakukan transfer di rekening gue.
Kalau seperti ini, apa yang harus gue bosankan dengan lelaki menggemaskan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend With Benefit
Romance🔞 MATURE CONTENT Only for legal age. Minor, please don't cross the line, be wise. Disclaimer: this story contain of harsh words, dirty talk, sex activity. Please, be wise! "Benjamin itu temen gue, tapi sambil having sex" ©enflowerist, 2023