Benjamin tidak jadi datang tepat waktu hari ini karena ada suatu hal yang harus dia urus. Pesanan gue bahkan masih dia sempatkan untuk dikirim lewat pesan antar. Padahal kalau memang tidak bisa, dia tidak perlu melakukannya. Masih ada hari esok.
Namun, namanya Benjamin pasti keras kepala.
Akhirnya gue menghabiskan hari Senin dengan bergoleran di sofa sembari menonton film di tab milik Benjamin.
Karena merasa bosan, gue akhirnya keluar apartemen untuk pergi ke minimarket. Rupanya cokelat kiriman dari Benjamin malah membuat gue ingin memakan makanan manis lainnya.
Setelah beberapa menit berkeliling di rak-rak snack dan mendapat makanan yang gue inginkan hingga membeli beberapa es krim, akhirnya gue memutuskan untuk langsung kembali ke apartemen.
Gue berjalan di lobi menuju lift. Saat menunggu lift, darah gue langsung berdesir saat mendengar obrolan seorang perempuan bersama dengan ponsel yang dia tempelkan di telinganya.
"Oma, Oliv sekarang ada di apartemennya Ben tapi nggak tau dia ada atau nggak soalnya Oliv chat, nggak dibales sama Ben"
"Beneran nggak apa-apa, Oma?"
"Makasih, Oma."
Setelah itu sambungan terputus.
Gue bisa menyimpulkan bahwa perempuan ini adalah Olivia yang pernah disebut oleh Oma waktu lalu dan perempuan yang kerap kali menghubungi Benjamin. Gue jadi semakin ingin tahu, siapa Olivia sebenarnya. Teman Benjamin, tetangga atau bahkan pacarnya?
Kalau pilihan yang terakhir itu benar, berarti Benjamin benar-benar brengsek.
Gue sama sekali tidak pernah melarang Benjamin bertemu dengan siapa pun, perjanjian kami juga seperti itu. Hanya dengan catatan, dia tidak benar-benar menjalin hubungan dengan siapa pun. Karena jika benar, seharusnya dia mengakhiri itu dengan gue, sesegera mungkin.
Gue juga perempuan. Gue tau perasaan Olivia jika dipermainkan seperti itu.
Lagi pula, gue di sini hanya untuk memenuhi kebutuhan gue sendiri, tidak lebih dan tidak melibatkan perasaan.
Akhirnya dengan segala pertimbangan, gue tetap mengikutinya menuju lantai di mana Benjamin tinggal. Namun setelah lift terbuka, dia lebih dulu berjalan sedangkan gue yang di belakangnya langsung beralih ke tangga darurat untuk bersembunyi terlebih dahulu.
Setelah dirasa aman, gue keluar dan mengendap-endap. Jujur ini sudah mirip seperti seseorang yang akan menangkap basah pacarnya yang sedang berselingkuh. Namun ini kebalikannya, gue seperti orang ketiga di sini.
Olivia sampai di depan kamar Benjamin. Perempuan cantik itu menekan bel selama beberapa kali sembari menempelkan ponselnya di telinga. Sesekali dia bergumam bahwa seseorang yang dia telepon yaitu Benjamin tidak segera menerima panggilannya.
Setelah itu dia memanggil Oma untuk bertanya tentang password, meskipun berakhir gagal karena Oma juga tidak mengetahuinya.
Gue langsung kembali ke tangga darurat saat melihat Olivia beralih dari sana. Ternyata dengan tidak terduga, mereka bertemu di depan lift. Gue bisa mendengar keduanya dari arah tangga.
"Ben! Sumpah, lo susah banget dihubungin!"
"Lo ngapain ke sini? Lo masuk unit gue?"
"Nggak bisa, bodoh. Gue nanya Oma juga nggak tau passwordnya. Masukin angka ultah lo juga bukan. Apa sih passwordnya"
"Kepo. Udah ah, kalo mau ketemu jangan di sini. Gue nggak suka ada orang lain ke tempat gue. Makanya Oma nggak tau passwordnya karena Oma emang belum pernah ke sini juga. Lagian ya, Liv, gue tuh beneran lagi sibuk. Dikira gue bohong apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend With Benefit
Romance🔞 MATURE CONTENT Only for legal age. Minor, please don't cross the line, be wise. Disclaimer: this story contain of harsh words, dirty talk, sex activity. Please, be wise! "Benjamin itu temen gue, tapi sambil having sex" ©enflowerist, 2023