Flashback
"Huh, siapa sih malam malam telepon. Ganggu saja!" Evan mengomel karena ia sedang bermain game dan kalah karena di spam call oleh nomor tidak dikenal.
*tut*
"Halo? siapa ini?"
'Long time no see, Evan. You haven't responded my invitation, don't you? But don't worry, lo bakal terima tantangan ini.'
"Alexander? Mau apa lo hah? Dan siapa lo ngatur ngatur jawaban gue?"
'Gue mungkin bukan siapa siapa, tapi gue udah nyandera salah satu murid dari sekolah lo. Kalau sampe besok malem lo ga dateng kesini, gue bakal fitnah bahwa geng lo yang udah nyulik murid ini. Hahaha, she's pretty tho..'
---
"Siapa maksud lo, hah? Pengecut banget lo maen nyandera cewe. Emang dari dulu lo gapernah berubah ya, sifat pecundangnya." Evan tersenyum sinis.
' And so are you, you're always a loser, Evan.'
"Heh, setidaknya gue ga menghalalkan segala cara buat menang, Lex. Stop dreaming, i'm the winner and you're the loser. Share location lo sekarang juga, awas aja sampe lo lukain siapapun yang lo sandera itu-"
*bugh*
Bersamaan dengan kalimat Evan yang terpotong itu, terdengar suara pukulan yang keras dari arah telepon.
'Aghh! Jalang sialan, beraninya lo-'
'Berisik, sialan. Cepat lepasin gue dari sini, atau gue bantai seluruh geng lo.'
Deg!
Evan yang sedari tadi menyimak pembicaraan tersebut terkejut. Suara gadis yang baru saja memukul rivalnya, adalah musuhnya sendiri, Evelyn.
Namun yang ia herankan adalah, mengapa suaranya terasa lebih menarik dari suara menyebalkan yang ia dengarkan biasanya?
"AGGHH! GILA LO, VAN. Untung aja yang ditangkep si bawel itu....untung aja" teriaknya.
Teleponnya sudah mati sejak tadi, namun Evan masih berkecamuk dengan isi pikirannya sendiri. Bagaimana pun juga, ia harus tetap menolong teman sekelasnya itu, bukan?
---
Alexander mengelap sudut bibirnya yang berdarah, tak ia sangka bahwa ia akan terjebak oleh jebakannya sendiri. Ia telah membawa malapetaka ke markasnya yang sudah tidak layak lagi disebut sebagai markas. Wilayah kebanggaannya kini sudah seperti kapal pecah, dengan banyaknya pria remaja yang terkapar dimana mana.
"Gadis sialan. Beraninya ia mengacaukan seluruh markasku lalu pergi begitu saja- ugh" Alexander merintih sambil memegangi kepalanya yang berdarah.
---
Beberapa waktu yang lalu
"Cewe kaya lo emangnya bisa apa, hah? Mau teriak? Haha, disini tuh tempat yang paling ditakuti orang orang biasa yang rendahan kaya lo. Gausah ngarep bakal ada yang nyelametin lo, ini bukan novel." sindir Alexander.
Mendengar kata "rendahan" membuat Evelyn muak, ia pun memutuskan untuk menendang rantai yang mengikat kakinya. Beruntung ayahnya pernah mengajarkan Evelyn untuk bela diri sedari kecil, untuk berjaga jaga apabila hal seperti ini akan terjadi.
*buagh*
*dugh*
*brak*
Tanpa basa basi, ia memukul Alexander sekencang mungkin menggunakan ujung kursi besi yang tadinya ia duduki hingga tak sadarkan diri.
Melihat itu, para anggota geng Blood Diamond pun tak tinggal diam. Mereka mulai menyerang Evelyn dengan berbagai cara. Sekuat apapun Evelyn, ia hanyalah seorang gadis. Tidak mungkin kekuatannya melebihi 300 orang pria yang sudah terbiasa dengan perkelahian seperti ini. Namun, Evelyn ini sangat cerdas. Ia menggunakan kursi besi yang ia pegang sebagai tameng sambil berlari ke arah keluar markas. Namun tanpa mereka sadari, Evelyn hanya mengecoh mereka, ia menendang setangki minyak tanah yang ia lihat ketika sedang berpura pura pingsan saat Alexander menelpon Evan. Minyak itu berlumuran kemana mana, menyebar hingga ke dalam markas. Setelah keluar, ia segera menyalakan sebatang korek api dan membakar markas tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Between Us
Teen Fiction"Melihatnya saja sudah membuatku muak." "Aku membencinya!" Jangan membenci seseorang, kau takkan pernah tahu apa yang akan terjadi nantinya. Evan dan Evelyn, bukankah nama yang serasi? Sayang sekali jika mereka hanya bermusuhan.