Keramat - New

2.1K 8 0
                                    


"Belanja, Mbak Asih?" sapa seorang Ibu kompleks saat Asih keluar menghampiri kumpulan ibu-ibu yang sedang berkerumun mengelilingi pedagang sayur.

"Iya, Bu. Mau beli kentang sama telur. Bang Rido minta dibikinkan perkedel," jawab Asih sambil memilih sayur dan bumbu yang dia butuhkan.

"Maaf, Mbak. Apa mbak hamil kembar?" tanya Ibu yang lain yang sedari tadi fokus pada ukuran perut buncit Asih yang tampak begitu besat.

Sontak Asih mengelus perutnya. "Nggak kok, Bu. Saya sudah USG dan nggak kembar. Bayinya cuma satu."

"Begitu ya, Mbak. Mungkin ukuran bayinya besar ya, Mbak?" timpal ibu yang lain.

Jujur Asih mulai tidak nyaman dengan pertanyaan para tetangganya tersebut. Tapj ia harus menahan diri.

"Nggak, Bu. Ukuran bayi saya normal dan nggak kembar," jawab Asih lagi sambil tersenyum meski kesal.

Setelah mendapat semua yang diinginkan, Asih buru-buru masuk ke dalam rumah meninggalkan ibu-ibu komplek yang ia yakin akan menggosipkan tentang kehamilannya.

"Bang, apa perutku kelihatan besar sekali?" keluh Asih pada suaminya yang kini tengah menyapu ruang tamu.

Rido menelan ludah dengan kasar. Jujur, dia sendiri sering heran dengan ukuran perut sang istri yang demikian besar. Tapi tentu saja dia tidak mungkin mengucapkan apa yang ada dipikirannya. Nanti istrinya itu akan merajuk.

"Nggak. Biasa saja, kok! Memangnya kenapa kamu nanya begitu?"

"Tadi ibu-ibu di depan nanya apakah aku hamil kembar. Kata mereka perutku terlalu besar," jelas Asih dengan bibir cemberut dan mata berkaca-kaca.

Hati Rido melemah melihat istrinya dalam mode manja seperti itu. Ia menyandarkan sapu yang ia pegang ke meja lalu memeluk Asih penuh kehangatan.

"Sudah, nggak perlu dengar apa kata orang. Yang penting kata bidan bayi kita sehat dan baik-baik saja. Bidan pasti lebih tau kondisi kehamilanmu dibanding mereka."

Asih hanya mengangguk dalam pelukan Rido.

* * *

"Asih... Datanglah, Asih...," bisikan selembut hembusan angin meniup telinga Asih. Hawa dinginnya merasuk hingga ke tulang. Asih yakin kedua matanya terbuka namun tidak ada yang bisa ia lihat selain hitam yang pekat.

"Asih... Datanglah, Asih...," suara yang sama terus bergumam di telinga Asih.

Perlahan, semburat cahaya matahari mulai bersinar. Mengirimkan cahaya terang yang mengaburkan kepekatan malam. Satu-persatu benda di sekitar Asih pun terlihat. Meski dia tidak mengerti mengapa dirinya tiba-tiba berada di tempat ini namun kini wanita itu tau dirinya tengah berada dimana. Di tengah hutan.

"Asih... Datanglah, Asih...," Asih tidak tau itu suara siapa dan wujudnya bagaimana tapi hati kecilnya memberinya firasat tidak baik. Tanpa tau arah mana yang harus dia ambil, jalan mana yang membuatnya bisa menjauh dari pemilik suara tersebut, Asih melangkah begitu saja tanpa tujuan. Membopong perut besar yang membawa janin berumur sembilan bulan.

Asih terus berlari tanpa henti. Tapi sejauh apapun ia berlari suara itu justru terdengan semakin keras seolah-olah Asih berlari makin mendekat. Sampai pada akhirnya Asih tak sanggup melangkah lagi. Ia berdiri bersandar pada satu pohon besar. Ia mencengkeram perut besarnya yang keras mengencang.

"Aaakkhhh... Sakiiiit...," ringis Asih sambil mengelus-elus bagian perut bawahnya.

"Asih...."

Asih terkesiap mendengar panggilan itu lagi. Tidak seperti panggilan sebelumnya yang suaranya hanya terdengar seperti hembusan angin, kali ini suara itu terdengar begitu nyata. Mau tak mau Asih pun berbalik. Matanya membulat seketika. Nafasnya tercekat di kerongkongan. Tak kurang dari tiga meter di belakangnya, berdiri sosok tinggi besar bertubuh hitam legam. Matanya merah menyala.

Pregnant StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang