Santet - Repost

4.9K 11 0
                                        

Adit menyeruput kopi hitam panas sembari menonton rekan pemuda satu kompleksnya bernyanyi bersama sambil bermain gitar. Sesekali ia menyedut rokoknya, meniupkan asap ke udara. Gumpalan asap yang mengepul membuyar di udara sebelum hilang sama sekali. Sama seperti asap rokok, Adit pun ingin menghembuskan kalut di kepalanya ke udara.

Ini sudah lebih dari malam yang keseratus, Adit menghabiskan waktu dengan nongkrong di warung kopi langganan saat masih lajang. Semenjak menikahi Dini, ia hampir tak pernah keluar malam. Namun akhir-akhir ini hanya tempat ini yang bisa dijadikan pelampiasan atas hasratnya yang tak terpenuhi. Hanya dirinya saja yang tau akan betapa frustasi otaknya beberapa bulan ini. Kadang Adit berpikir mungkin ada baiknya ia jajan wanita pinggir jalan untuk menyalurkan nafsu yang tak tersampaikan.

"Kusut amat muka!" seloroh Agus, tetangga kontrakannya. Tanpa malu-malu ia langsung meraih bungkus rokok di atas meja, mengambil dan menyulut sebatang.

"Ya, gimana nggak kusut. Istri bikin ulah lagi."

"Oh, dia...."

"Iya, lagi-lagi dia minta berhenti waktu lagi pas enak-enaknya."

Sebenarnya Adit tau tidak benar menceritakan masalah rumah tangga, apalagi urusan ranjang pada orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, waktu itu dada Adit sudah demikian sesak. Kebetulan dia bertemu Agus yang mana adalah tetangga sekampung Dini yang sepertinya amat mengenal perangai wanita itu. Seakan bertemu di waktu yang tepat dengan orang yang tepat, tanpa sadar curahan hati Adit mengalir begitu saja dari bibirnya.

"Menurutmu dia bohong, nggak, sih?" tanya Agus tak biasa-biasanya. Selama ini dia lebih banyak diam dan jadi pendengar setia.

"Maksud kamu?" Adit berbalik tanya.

"Kamu bilang Dini selalu kesakitan kalau begituan sama kamu tapi aku lihat dia baik-baik saja tiap hari, tuh. Kalau orang beneran kesakitan ya nggak mungkin lah rasa sakitnya hilang begitu aja. Pasti ada bekas-bekasnya."

Adit merenung sebentar, memahami perkataan Agus yang dia akui ada benarnya. Dini hanya akan kesakitan tiap mereka berhubungan badan tapi akan sehat-sehat saja setelahnya.

"Mungkin cuma bawaan bayi. Dia nggak mau digauli," bantah Adit lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.

"Ya, kita mana tau kalau dia memang nggak punya hasrat bercinta. Selama ini kamu taunya dia menolak kamu. Realistis aja, dia juga perempuan normal yang punya nafsu."

"Maksud kamu apa, Gus? Kamu mau bilang kalau Dini nggak mau aku sentuh?" emosi Adit lumayan tersulut.

"Jangan marah dulu, dong. Aku sudah pernah cerita kan kalau Dini itu ibarat piala bergilir waktu di kampung? Dia sering gonta-ganti pacar dan cepat bosan. Bukan nggak mungkin dia...."

"Dia bosan denganku yang notabene suaminya?" potong Adit. Ia mencengkeram kerah baju Agus. Jika tadi dia marah, dia murka kali ini.

"Sabar, Dit." Agus mengangkat kedua tangan pertanda menyerah. "Aku cuma menyampaikan kecurigaanku saja. Kalau salah ya bagus, itu artinya dia sudah berubah. Tapi kalau belum bagaimana?"

"Aku percaya sama Dini. Aku udah pernah bilang kalau aku nerima Dini apa adanya dan nggak peduli dengan masa lalunya."

"Yakin kamu nggak peduli?"

Adit melepas cengkeramannya pada kerah Agus lalu duduk lemas di atas kursinya. Benarkah dia percaya sepenuhnya pada Dini setelah mendengar cerita buruk tentang wanita itu dari Agus? Keraguan yang selama ini berusaha ia tepis kini kembali bersarang.

"Kita nggak akan tau kalau kita belum membuktikannya, Dit."

"Bagaimana caranya?"

"Biarkan aku tidur sama Dini."

Pregnant StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang