Mantan - New

5.8K 13 0
                                        

Dinda tersenyum mengagumi hasil buah tangannya di atas meja makan. Hanya nasi, tempe goreng dan oseng kangkung memang tapi itu sudah cukup untuk bertahan hidup selama sehari ini. Sebagai tulang punggung keluarga semenjak suaminya lumpuh akibat kecelakaan, Dinda pastikan dapurnya tak berhenti mengepul.

"Mas mau makan sekarang?" tanya Dinda pada suaminya yang baru keluar kamar menggunakan kursi roda.

"Boleh." Bagas membawa kursi rodanya ke depan meja makan dimana Dinda sudah mengosongkan satu kursi. Wanita itu menyendok nasi, lauk dan sayurnya ke dalam piring dan menyajikan tepat di depan Bagas. "Loh, kamu nggak ikut makan?" tanya Bagas heran sebab Dinda hanya menyiapkan satu piring saja.

Dinda duduk di samping Bagas dengan raut wajah bersalah. "Maaf, Mas. Aku sudah duluan makan waktu Mas masih di kamar mandi."

Bagas tersenyum tipis sambil membelai pipi sang istri. "Hei, jangan sedih. Mas tau kamu harus segera berangkat bekerja." Kini justru wajah Bagas yang berubah sendu. "Harusnya mas yang bekerja untuk kamu. Tapi sekarang justru kamu yang harus menanggung hidup mas dan bekerja saat sedang hamil besar seperti ini."

"Mas, aku ikhlas. Mas juga nggak mau seperti ini. Yang penting mas nggak putus asa. Mas pasti bisa sembuh."

"Terimakasih karena selalu pengertian dengan keadaan mas."

"Ehm. Sekarang mas makan dulu dan minum obat. Aku mau berangkat sekarang. Jangan lupa nanti siang mas juga harus makan. Piringnya taruh saja di atas meja. Nanti pulang kerja biar aku cuci."

Setelah satu kecupan di dahinya, Dinda meninggalkan rumah. Berjalan menuju kediaman majikannya. Dinda bekerja setiap hari sebagai tukang bersih-bersih di rumah seorang pasangan kaya raya di kampung tempat dirinya tinggal. Dari pagi sampai sore hari saja. Jadi malamnya dia masih tinggal bersama sang suami.

Bekerja menjadi pembantu sebenarnya bukan pekerjaan sulit. Dia hanya harus menjaga kebersihan dan kerapihan rumah itu seperti rumahnya sendiri. Namun dengan kondisi Dinda yang tengah hamil tua membuat kinerjanya menjadi lambat lantaran sering kelelahan sehingga ia harus sering-sering beristirahat. Beruntung, majikannya sangat baik dan pengertian.

Di tengah perjalanan, Dinda dikejutkan oleh jerit tangis yang berasal dari kerumunan orang yang berkumpul di pusat desa tempat pemangku adat berada. Penasaran, Dinda mendekati kerumunan tersebut. Matanya terbelalak melihat seorang perempuan diikat di tengah lapangan dan dicambuk dengan keji. Tubuh wanita itu penuh luka, berdarah-darah nyaris mati.

Dinda tak perlu menanyakan apa dan kenapa. Dia memang tak mengenal gadis tersebut namun Dinda yakin gadis itu belum menikah. Melihat dari perutnya yang sedikit membuncit, Dinda yakin gadis itu tertangkap tangan hamil di luar nikah. Semua orang di desa ini tau bahwa siapapun yang terbukti melakukan hubungan terlarang akan disiksa, di arak keliling kampung lalu dihukum cambuk sampai mati.

Tak sanggup melihat keadaan sang gadis, Dinda buru-buru beranjak dari tempat itu, membopong perut besarnya menjauh.

* * *

"Selamat pagi, Pak, Bu!" sapa Dinda pada sepasang suami istri yang tengah menikmati sarapan berdua.

"Kamu sudah datang, Din?" sahut sang wanita yang tak lain adalah majikan Dinda, Vania. "Sini ikut sarapan!"

Dinda menoleh ke arah suami Vania yang tampak acuh tak peduli dengan keberadaan Dinda. Ia hanya fokus pada sepiring nasi goreng udang di hadapannya. "Mmm, saya sudah sarapan, Bu."

"Saya masak banyak, nanti kalau kamu lapar lagi kamu tinggal panasin dan makan, ya!" ujar Vania lagi.

Dinda hanya tersenyum sembari mengangguk. Ia berjalan menuju ke belakang memulai pekerjaan hariannya. Mencuci pakaian, menyapu halaman belakang. Begitu Dinda masuk kembali ke dalam rumah kedua majikannya sudah tidak lagi ada disana. Tampak mobil di depan rumah juga sudah raib dari tempatnya. Sepertinya majikannya tersebut sudah pergi keluar. Dinda segera mengumpulkan peralatan makan di atas meja untuk dicuci. Setelah dapur beres ia baru masuk ke dalam kamar untuk merapikannya.

Dinda terlalu fokus dengan pekerjaannya hingga ia tak menyadari saat Riki, suami majikannya, pulang ke rumah dan langsung menuju ke dalam kamar yang sama.

"Oohhh... Sakit. Perutku sakit sekali. Aaakkhhh...."

"Din, kamu nggak apa-apa?" Riki yang panik tanpa sadar mengelus perut besar Dinda.

"Sakit sekali, Pak. Aaakkhhh...."

BRAK!

Terdengar pintu yang didorong paksa dari luar. Baik Riki maupun Dinda terbelalak melihat siapa yang datang. Riki setengah meloncat menjauhkan diri dari Dinda.

"Bu!" Dinda yang panik segera bangun dari ranjangnya namun nyeri pada perutnya menghalanginya dari melakukan hal tersebut. Ia kembali merebahkan punggungnya di atas kasur. "Akh, sakiit."

"Van, aku bisa jelaskan. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan," jelas Riki, ketakutan tergambar jelas di wajahnya.

Ada kurang lebih sepuluh orang berdiri di ambang pintu. Vania, ketua adat, kepala desa dan para pembantunya, juga beberapa wajah tetangga sekitar rumah.

"Seret mereka!" titah ketua adat dengan murka.

Para warga segera menarik Riki dan Dinda. Warga yang marah mengeroyok Riki hingga babak belur. Dinda yang tengah diserang kontraksi pun tak luput dari amukan warga. Mereka diseret keluar tanpa mampu memberikan perlawanan.

"Ampun! Ampun! Akh! Perutku sakit!" rintih Dinda yang dipaksa berjalan ketika kontraksi di perutnya menghebat.

Kentongan dipukul, sebagai tanda bagi warga untuk segera berkumpul. Wajah-wajah jijik dan marah satu per satu berdatangan. Mereka tak segan untuk melempari Riki dan Dinda dengan batu.

"Ampun, Bu Vania. Maafkan Dinda, Bu!" Vania tak bergeming. Menoleh pun tidak.

Sebuah kayu besar diletakkan di punggung Dinda, kedua tangannya diikatkan ke kayu tersebut. Pada bagian atas perutnya diikat pula tali yang dibanduli gelondongan kayu besar, lebih berat daripada kayu pada punggungnya. Tiap ia melangkah perutnya akan tertarik kebawah membuatnya merasakan sakit luar biasa.

Pada siang hari yang terik, saat matahari berada tepat di atas kepala, Dinda di arak mengelilingi jalan kampung. Tanpa alas kaki, tanpa sehelai benang pun menempel di tubuhnya. Kakinya terasa panas terbakar. Perutnya bergejolak karena kontraksi. Kepalanya seakan mau mendidih. Ditambah lagi lemparan batu yang ia terima di sepanjang jalan. Tubuhnya berdarah-darah.

.
.
.
.

Apa yang terjadi pada Dinda?
Mengapa tiba-tiba dia dilabrak oleh Vania dan warga?
Apakah dia difitnah?
Bagaimana nasib Dinda dan bayinya selanjutnya?

Kisah selengkapnya hanya ada di Karyakarsa @NewTapana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pregnant StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang