14 | Sebuah Rahasia

6 1 0
                                    

Setelah berteriak sekuat tenaga, tidak ada lagi yang kuingat selain tubuhku seketika lemas dan pandanganku yang menjadi gelap. Entah aku sudah pingsan berapa lama, tetapi saat aku membuka mata, aku sudah terbaring di atas kasur, di dalam kamarku.

Ya Tuhan, aku tidak ingin bangun sekarang.

Aku menoleh dan mendapati Bunda sedang tertidur di samping kasur dengan tangan yang erat menggenggam jari-jariku. Kepalanya menghadap ke arahku, dan bertumpu pada kasur tempatku berbaring. Aku menatap wajah pucat itu, wajah yang baru kusadari kalau kini sudah mulai menua.

Bunda masih terlihat cantik meskipun sudah banyak tanda-tanda penuaan yang muncul hampir di suruh tubuhnya. Garis-garis halus yang semakin jelas terlihat, rambut hitam panjang yang mulai memutih, serta kantung mata yang menghitam, tidak serta-merta menutupi kecantikan wajah dari wanita berusia empat puluh lima itu. Sayangnya, wajah yang dulu selalu terlihat ceria, kini sudah berubah muram.

Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meski ada banyak pertanyaan yang berputar-putar di otakku. Kutatap wajah perempuan yang ada di hadapanku lekat-lekat. Wajah perempuan yang sepertinya mulai sering menyembunyikan kesedihannya sendirian.

"Sudah bangun, Nak?"

Bunda terbangun saat aku mencoba untuk bangkit dan duduk bersandar di kasur. Kulihat Bunda masih berusaha tersenyum, meski kutahu hal yang terjadi saat ini pasti sudah membuat dunianya hancur.

"Bunda udah tahu kalau Ayah selingkuh sama perempuan itu?" tanyaku.

Aku mengenal perempuan itu, perempuan yang kini menjadi selingkuhan Ayah. Tetapi, aku tidak sudi menyebut nama perempuan yang telah merusak kebahagiaan hidupku.

"Perempuan itu punya nama, Nak. Namanya—"

"Bunda! Jangan sekali-kali menyebut nama perempuan jalang itu di hadapanku!" jeritku.

Aku sudah berusaha sekuat tenaga menahan diri untuk tidak berteriak. Tetapi, saat melihat Bunda tetap tenang meski sudah disakiti, hatiku terasa sakit, membuat amarahku meledak.

"Bunda itu bodoh atau gimana sih! Perempuan itu sudah merebut Ayah dari Bunda! Kenapa Bunda masih—"

Aku tidak sanggup untuk melanjutkan kalimatku. Tangisku pecah. Dadaku terasa begitu sesak sampai aku sulit bicara. Tiba-tiba aku teringat semua kejadian di dapur pagi tadi, dan wajah perempuan licik yang menatap ke arahku tanpa rasa bersalah.

Bunda yang melihatku menangis sesegukan langsung memelukku, berusaha menenangkan meski yang kudengar hanya isakan tangis yang tertahan. Aku tahu, apa yang Bunda rasakan pasti lebih sakit daripada yang saat ini aku rasakan. Tetapi, tetap saja, aku tidak bisa memaksakan diriku untuk tetap tenang setiap kali teringat wajah perempuan yang diam-diam ingin merebut Ayah dariku.

Aku selalu melihat keluargaku sebagai keluarga yang sempurna. Ayah dan Bunda selalu terlihat harmonis, bahagia, dan tidak pernah mengalami masalah. Kami selalu menikmati momen, baik suka maupun duka, bersama-sama. Bahkan, setiap kali aku mendengar masalah mengenai keluarga dari orang lain, tidak pernah terbersit sedikitpun dalam benakku bahwa kejadian-kejadian tidak menyenangkan itu akan terjadi di keluargaku.

Makanya, aku benar-benar belum bisa menerima kenyataan yang terjadi saat ini.

Apakah selama ini Ayah kurang bahagia? Mengapa Ayah tega mengkhianati cinta Bunda? Apa sebenarnya yang Ayah cari dari perempuan itu?

Ya Tuhan, mengapa alur kehidupanku jadi seperti ini? Ini benar-benar tidak sesuai dengan harapanku. Mana kehidupan sempurna yang biasa kumiliki? Mengapa kini justru ada luka yang hadir?

Aku menghela napas berkali-kali. Butuh waktu beberapa saat sampai aku mampu untuk menghentikan tangisku. Selama itu, Bunda tak henti-hentinya memeluk sambil mengusap-usap punggungku.

KAIROSCLEROSISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang