18 | Sidang Tugas Akhir

9 2 0
                                    

Aku tidak menyangka, kalau ceramah yang kudengar malam itu, menjadi titik balik dalam hidupku.

Beberapa hari berlalu, dan aku sudah tidak lagi menaruh harapan apapun kepada kelima orang yang menyakitiku. Pelan-pelan, aku berusaha untuk ikhlas, meski masih terasa sangat sulit.

Dulu, aku selalu berharap Ayah dan Bunda bisa kembali bersama tanpa adanya orang ketiga. Sekarang, aku memilih untuk menghormati keputusan keduanya. Meski saat ini aku masih tidak bisa mengangkat telepon dari mereka, tetapi, aku masih memaksakan diri untuk tetap berkomunikasi melalui pesan singkat. Bagaimanapun juga, walaupun hatiku masih terasa sakit, mereka tetap orang tua yang dulu pernah merawatku dan memberiku kehidupan yang utuh.

Lalu, dulu aku juga berharap kalau Arga bisa putus dengan Salma dan memilih untuk kembali padaku. Sekarang, aku sudah melepaskan keduanya. Tetapi, untuk menjaga hatiku, aku memilih untuk menjauhi segala yang berhubungan dengan mereka berdua. Aku memblokir semua kontak Arga dan Salma yang kupunya. Aku juga menghindari berlama-lama berada di kampus. Aku tidak ingin bertemu, dan berusaha untuk tidak bertemu.

Sedangkan mbak Ani, entahlah. Aku terakhir beetemu mbak Ani saat pertama kali aku menguping pembicaraannya bersama Ayah. Setelah itu, mbak Ani sudah tidak pernah datang lagi ke rumah. Aku tidak mau mencarinya, dan sepertinya, dia pun tidak berniat untuk mencari dan menghubungiku.

Iya, aku memang sudah tidak lagi berharap, pun sudah memaafkan mereka. Tetapi, aku masih belum lupa. Boleh, kan?

"Luka itu butuh waktu untuk sembuh. Jadi, nggak perlu terburu-buru," ujar mbak Zahra saat aku menceritakan kegelisahanku.

Mendengar itu, rasanya aku ingin kembali menangis, tetapi sebisa mungkin kutahan sekuuat tenaga agar tangis itu tidak sampai pecah.

"Jangan sampai kita merasa bahwa, seolah-olah kalau kita masih terluka, berarti kita belum ikhlas. Jangan menghakimi diri sendiri."

Tubuhku bergetar, rasanya hatiku seperti tercabik-cabik. Sakit sekali.

"Kita tidak harus sempurna dan tidak harus selalu kuat. Kalau nggak kuat, ya, nggak apa-apa. Nggak usah memaksakan diri."

Aku menunduk. Allah ...

"Semangat, ya," ucap mbak Zahra, menutup kalimatnya, sebelum memeluk untuk mendekapku dengan hangat.

Aku sudah sekuat tenaga untuk menenangkan diriku. Tetapi, rasanya pelukan mbak Zahra membuat bendungan di mataku pecah. Aku kembali menangis sejadi-jadinya. Kutumpahkan segala keluh kesahku padanya.

Aku menangis untuk waktu yang cukup lama, tetapi, mbak Zahra sama sekali tidak melepaskan dekapannya.

"Aku mau sepenuhnya move on, mbak," isakku.

Mbak Zahra mengangguk. "Bismillah, pelan-pelan ya, Insya Allah dimudahkan."

Aku mengangguk.

Maka, setelah tangisku akhirnya benar-benar berhenti, aku pun mulai memperbaiki diri dan kembali menata hatiku.

Aku memutuskan untuk berhijab, meski ukurannya masih tergolong pendek, tidak panjang seperti yang dikenakan oleh mbak Zahra. Aku juga mulai merutinkan datang ke masjid-masjid yang mengadakan kajian, bersama Fitria. Kadang-kadang, aku juga diajak main ke sekre SKI oleh mbak Zahra, untuk ikut duduk melingkar di pertemuan rutin yang hanya dihadiri oleh beberapa mahasiswi saja.

KAIROSCLEROSISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang