Melepas Kehormatan

2.5K 10 0
                                    

Dengan alasan akan menginap di rumah teman, akhirnya Narsih mengizinkan Athalia keluar rumah malam ini.
Padahal Narsih tidak tahu jika sebenarnya Athalia akan pergi ke apartmen Mahesa.
Menggunakan ojek online, Athalia pun sampai di depan pintu apartmen milik bossnya. Tangannya ragu-ragu memencet bel, sampai akhirnya daun pintu berayun terbuka dan sosok Mahesa yang masih terbalut lengkap dengan kemeja kerjanya, kini berdiri menjulang di hadapannya.
“Kupikir kau tidak akan datang,” katanya pada Athalia, bibirnya menyungging senyum kemenangan.
“Masuklah! Selamat datang di tempat kerjamu yang baru,” ledek Mahesa sembari membuka daun pintu lebih lebar.
Athalia membuang napasnya pelan, merasa kesal. Tetapi kakinya tetap melangkah masuk. Dan mata Mahesa memindai tubuh bagian belakang Athalia yang tampak ramping.
“Apa kau ingin minum?” Mahesa sudah duduk kembali di sofanya, tangannya mengangkat gelas berisi minuman memabukan pada Athalia.
Athalia yang masih berdiri di tempatnya hanya menggeleng. “Tidak. Terimakasih,” jawabnya sembari mengalihkan pandangan dan mengusap lengannya sendiri.
Mahesa meneguk minumannya cepat sementara matanya masih lekat menatap wajah Athalia.
“Duduklah, Athalia. Jika kau duduk terus, nanti darahmu turun.” Mahesa mengedikan dagu ke arah sofa di seberangnya.
Athalia menurut, ia menghempaskan pantatnya di sana.  Namun seketika itu juga Athalia menjadi semakin gelisah.
Menyadari bahwa mereka hanya berdua saja di apartmen ini, membuat Athalia menelan salivanya berat.
‘Mahesa terus saja menatapku setajam itu. Aku tahu kalau malam ini aku sudah tidak bisa melepaskan diri darinya. Karena aku sudah menjatuhkan pilihan dengan menjadi teman tidurnya. Hanya satu bulan, Athalia … semua ini hanya satu bulan saja. Setelah itu aku bisa bebas dari lelaki ini.’
Athalia berusaha menyemangati dirinya sendiri.  Meskipun ia tak bisa menyembunyikan kegelisahan luar biasa yang sedang dirasakannya.
“Mengapa kau terlihat gugup? Apa karena ini yang pertama kalinya bagimu? Hmmm?”
Athalia menoleh pada Mahesa, lelaki itu sedang tersenyum meledeknya.
“Tenang saja, Athalia. Aku bukan seorang lelaki yang bercinta sambil menyakiti. Aku tidak akan menyakitimu saat melakukannya. Aku pastikan kau pun akan menyukainya. Bahkan mungkin … kau lah yang akan candu denganku.” tersenyum, Mahesa kembali meneguk minumannya dalam sekali tenggak.
Athalia memainkan jemarinya gelisah di atas paha, perutnya terasa bergejolak.
Mahesa menaruh gelas kosong di atas meja, matanya terangkat menatap  pada Athalia yang sudah berkeringat dingin.
“Kenapa kau diam saja? Mana Athalia pemberani yang biasanya menyela ucapanku?” Mahesa mengangkat sebelah alisnya. Sejak tadi ia hanya melihat Athalia diam dan membisu.
Padahal saat di kantor kemarin, wanita itu tampak berani berdebat dengannya.
Athalia tak menanggapi ucapan Mahesa. Ia tetap diam. Ia takut jika ia bicara, malah membuat Mahesa marah lalu membatalkan janjinya untuk membiayai seluruh pengobatan Yasna.
“Baiklah. Sepertinya kau sudah merasa tidak nyaman duduk di sini. Kau ingin segera merebahkan diri di atas ranjangku? Tentu saja. Mari ikut aku!”
Mahesa bangkit berdiri, diikuti oleh Athalia yang mengekori dari belakang. Mereka berjalan menaiki tangga. Athalia tidak heran mengapa apartmen milik Mahesa terlihat mewah. Lelaki itu bisa membeli apapun yang ia tunjuk.
Tiba di depan pintu kamar yang Athalia tebak adalah kamar Mahesa, Mahesa membuka pintu dan mereka berdua masuk ke dalam.
Athalia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar itu. Athalia sempat terkesiap karena seumur hidupnya, ia tak pernah melihat kamar sebagus ini. Apalagi ranjang di kamar Mahesa sangat besar, mungkin seukuran kolam renang.
Seolah Mahesa memang diciptakan untuk memiliki segalanya, kecuali cinta.
“Apa kau sudah siap, Athalia?” Athalia terkejut, Mahesa memeluknya dari belakang.
“Kau memenuhi permintaanku kemarin, bukan? Aku ingin kau datang dengan tidak menggunakan dalaman,” bisik Mahesa menumpukan dagunya di pundak kiri Athalia.
“Aku tidak akan melakukan hal segila itu!” tegas Athalia yang akhirnya bicara juga setelah terdiam sejak tadi.
Mahesa menyeringai.
“Hal yang gila? Lalu apa yang akan kita lakukan di dalam kamar ini sekarang? Apa menurutmu ini bukan kegilaan?” Mahesa memancing Athalia dengan menyusuri bagian depan tubuh wanita itu.
Athalia menahan napas, sebisa mungkin ia tidak ingin mengeluarkan suara yang akan membuat Mahesa senang.
“Kau menikmatinya ‘kan? Jangan telan suaramu, Athalia. Aku ingin mendengarnya.”
Dengan sengaja Mahesa menggigit kecil pundak Athalia, hingga Athalia membuka mulutnya yang terkatup, ia memekik terkejut sekaligus kesakitan.
“Apa yang kau lakukan?!” kesal, Athalia membalikan badan dan menatap Mahesa.
Mahesa mengedikan bahunya santai.
“Aku hanya ingin kau bersuara. Ingat, Athalia! Tubuhmu adalah milikku. Dan kau harus melakukan apa yang kuminta. Aku tidak suka bercinta dengan wanita yang hanya diam membisu. Setidaknya aku ingin dengar desahanmu.”
Athalia bergidik saat Mahesa mengusapkan jemari di pelipisnya. Menyibak rambutnya ke belakang telinga.
Lalu Mahesa menggoda Athalia dengan menggesek-gesekan hidung mancungnya di telinga wanita itu.
Bibir Mahesa menyunggingkan senyum saat Athalia mulai mengeluarkan suara yang membuat napsunya makin berkobar.
Mahesa menangkup kedua belah pipi Athalia, menatap wajah cantiknya dengan lamat dan dengan tatapan yang tak terbaca.
“Sebelum melakukannya, aku ingin kau mengatakan sesuatu. Katakan kalau tubuhmu adalah milikku.” Mahesa memerintah.
Bibir Athalia bergerak perlahan. “Tubuhku adalah milikmu.” ia menuruti setiap yang Mahesa suruh.
Karena Mahesa adalah orang yang akan menyelamatkan adiknya. Setidaknya begitulah yang Athalia pikir.
Senyum miring tercetak di wajah tampannya. Sebelum kemudian Mahesa menunduk dan memagut bibir ranum Athalia.
Athalia pasrah. Malam ini tubuhnya benar-benar tak berdaya. Ia membiarkan Mahesa menikmati bibirnya, menyentuh bagian tubuh yang disukai oleh lelaki itu.
“Yasna … kakak mohon kau harus sembuh! Kakak telah melakukan hal yang kotor ini untukmu. Tolong tetap berjuang untuk tetap di samping kakak. Kakak mencintaimu, Yasna. Sangat mencintaimu,’ batin Athalia.
Athalia tidak sadar ketika tiba-tiba Mahesa sudah mengangkatnya dan merebahkannya di atas ranjang.
Kali ini detak jantung Athalia berpacu sangat cepat. Ia mengalihkan pandangan ketika lelaki itu mulai meloloskan pakaiannya.
“You are mine, Athalia. You are mine,” bisik Mahesa di atas wajah Athalia. Napasnya yang hangat terasa menerpa, jarak di antara tubuh mereka telah terpangkas habis.
Malam ini, kamar apartmen Mahesa menjadi saksi bisu dimana Athalia melepaskan kehormatannya sebagai wanita.
Athalia menangis, seketika teringat pada Narsih yang pasti akan kecewa andai mengetahui semua ini.
‘Maafkan aku, Bu.’
***
Cahaya matahari yang menyeruak masuk melalui celah-celah jendela kamarnya membuat tidur Mahesa terganggu.
Lelaki itu membuka kelopak matanya. Baru saja Mahesa akan bangkit duduk namun terhenti ketika ia menyadari Athalia ada dalam pelukannya.
Sepertinya Athalia tidak sadar melingkarkan tangannya di pinggang Mahesa. Sekarang Mahesa jadi bisa menatap wajah wanita itu yang matanya masih terpejam rapat.
“Ternyata … dia lebih jinak saat sedang tidur,” gumamnya seraya menyibak rambut yang menghalangi wajah Athalia, lalu kembali menatapnya dengan lekat.
“Rupanya kau memang masih perawan, Athalia. Aku tidak akan mengingkari ucapanku. Kau sudah memberikan apa yang kumau. Maka aku akan memberikan apa yang kau inginkan,” lanjut Mahesa sambil mengusap lembut pipi Athalia dengan jemarinya.
   Bersambung…

Penghangat Ranjang Tuan CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang