Aku berdiri di tengah gerbang rumah dengan wajah pias. Guyuran hujan yang mengenai seluruh tubuhku tak aku pedulikan. Hatiku mati dan tubuhku pun ikut mati...mati rasa.
Sosok wanita yang ada di depanku memandangku sendu.
Aku berlari ke arahnya dan menerjang tubuhnya. Memeluknya erat dan akhirnya tangisku pun pecah.
Aku tak ingin menangis tapi aku hanyalah perempuan biasa, yang bisa merasakan sakit hati dan patah hati.
Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Dia hanya menepuk punggungku pelan seakan berkata "menangislah sebanyak yang kau mau..." dan itu membuat tangisku semakin menjadi jadi. Aku menangis pilu.
Ketika kisah kita kau mulai dengan kata "ahnyeong...." bukankah aku berhak mendapat kata "selamat tinggal" darimu." lirih Dita
Masih tak percaya, namun ini adalah realita. Tak sanggup namun tetap harus dihadapi. Cintaku hanya seumur jagung. Pupus sudah.
*****
Dimulai dengan jalan jalan yang kita rencanakan, namun tak terlaksana karena kau yang tak kunjung datang. Tak hanya satu atau dua jam aku menunggu, namun seharian aku menunggu mu di sana. Berharap kau akan datang, berlari dengan terburu buru, menghampiriku dengan nafas tersengal, dengan wajah memerah beribu kali kau mengucapkan kata maaf karena kau lupa, karena kau disibukkan dengan pekerjaan, atau hal apapun itu yang penting kau datang. Yang penting akhirnya kau datang, dan aku memafkanmu, kemudian kita berpelukan dibawah sinar matahari yang tenggelam di ufuk barat.
Namun yang terjadi adalah aku duduk sendirian ditemani desir angin sore yang dingin. Hatiku gundah, namun aku tak bisa memikirkan apapun. Aku tak ingin berburuk sangka. "Mungkin Seokjin Oppa sedang sibuk sekali hingga dia melupakan janji nya."
Denial. Itulah yang aku rasakan.
Kupejamkan mataku dan ku rapal mantra "Dia baru melakukan kesalahan yang pertama. Bukan hal yang penting. Semua akan baik baik saja."
Kuraba dadaku yang rasanya tercubit sakit "baik baik saja????"
Aku pulang dengan tetap tersenyum bahagia. Menganggap bahwa semua baik baik saja. Menunjukkan kepada keluargaku bahwa jalan jalan ku dengan Seokjin Oppa berjalan lancar.
Namun perasaan gundah dan firasat ku benar adanya. Beberapa hari setelahnya tidak ada kabar satupun dari mu. Kau seperti di telan bumi.
Apakah kisah cintaku akan berakhir seperti ini...tanpa kata. Menyedihkan..
Seminggu dua minggu, kabar baik belum juga kudapat. Dan seperti luka yang dibubuhi garam rasanya samgat perih sekali ketika aku mendengar kabar kau akan menikah dengan tuan putri pertama.
Ingin marah namun tak kuasa, ingin memaki tapi kepada siapa. Aku kalut dan pikiranku kacau. Kalau aki harus dibandingkan dengan tuan putri pertama, tentu aku kalah telak. "Tapi....apakah sebegitu tidak berharganya aku, sehingga kamu tidak bisa mengucapkan salam perpisahan dengan layak."
Hasilnya adalah aku selalu datang ke tempat yang kita janjikan, menunggu dan kemudian pulang dengan hampa. Kadang kala aku bergumam sendiri, mempertanyakan kenapa aku harus mengalami hal ini.
Ayah, ibu, dan Soodam mulai khawatir, karena semakin hari tubuhku semakin kurus karena tidak nafsu makan dan menangis semalaman di dalam kamar. dan itu terus berulang setiap hari.
"Unni...." ucap Soodam lembut namun tergambar kesedihan dan kegetiran dalam ucapannya.
"Hmmmm...." Dita menjawab lemah
Soodam mengusap lembut kepala Dita. "Ayah akan mengajak kita ke kuil."
Dita menoleh "untuk apa?"
"Ayah ingin mendekatkan diri kepada dewa. Ia ingin banyak beribadah di masa tuanya." Jelas Soodan yang tentu saja berbohong.
Dita terdiam dan hanya menatap langit malam yang tak berbintang.
"Kita akan pergi bersama" lanjut Soodam
Dita menoleh dan menatap Soodam heran "kita semua?"
"Iya..."
"Apa ayah tidak bekerja"
"Ayah mengajukan pensiun."
"Benarkah? Kapan?"
"Seminggu yang lalu..."
"Terlalu banyak yang aku lewatkan..." ucap Dita sendu
"Unni....kebahagian kita bukan karena orang lain ataupun tergantung orang lain. Kita harus biaa membahagiakan diri kita sendiri." Uxap Soodam dengan mata berkaca kaca.
"..........."
"Kalaupun larena orang lain, ada kami, keluargamu yang bisa membahagiakan unni dan juga berhak dobahagiakan oleh unni..." ucap Soosam dengan suara serak menahan emosi dan tangis yang akan segera tumpah.
Dita tersentak, melihat Soodam yang berderai air mata membuat dita teradar bahwa dia telah hilang arah. Sadar bahwa dia sibuk memikirkan patah hati dan perasaannya terhadap Seokjin, tanpa mempedulikan perasaan oeanv oeang terkasih yang lebih dulu ada buat dia.
"Lepaskan...lupakan...itu yang terbaik. Jangan genggam perasaan itu begitu kuat."
Dita terhenyak dan sedetik kemudian dia menagis rersedh sedu.
"Maafkan aku.....maafkan aku telah mengabaikan kalian. Kalianlah yang paling cinta dan sayang kepadaku, tanpa syarat"
"Unni....." Soodam menubruk tubuh Dita dan memeluknya erat "semua akan baik baik saja. Kami selalu ada untukmu."
"Bantu aku...bantu aku melumpuhkan ingatanku akan dia. Bantu aku...." Dita tergugu "ini terlalu sakit...." Dita merenggut dadanya erat
"Kamu bisa unni...kamu bisa...." Derai airmata Soodam semakin deras.
Dita dan Soodam semakin berpelukan erat dengan tangis yang kunjung berhenti.
Tuan dan Nyonya Lee hanya mampu mendengar pembicaraan mereka dibalik pintu kamar Dita. Dengan berpegangan tangan, merekapun menangis dalam diam. Merasakan sakit yang sama, dan bertanya kenapa anak gadisnya yang mendapatkan kemalangan dan harus menderita. Ingin protes ke Keluarga Kim pun tak bisa, mereka tak berdaya, dan hanya bisa menerima takdir.
*****
Ahhh....akhirnya update juga. Draft nya dah lama ada, tapi 2 bulan ini otakku buntu. Apa karena ga bisa bikin cerita saeguk ya???? 🤔
But, the most important thing is....hope you guys my beloved readers like it......
Edisi hujan airmata 😢 seperti cuaca sekarang yang selalu hujan.
Jindita 💞