Lagi ngikutin drama "Tale of Rose"
Suka dengan karakter rose, prinsipnya yang lalu sudahlah berlalu, perasaan pada mantan dibuang pada tempat yang semestinya, fokus pada masa depan, suka mempelajari hal baru, tahu apa yang dia inginkan dan konsisten.
Dan dari cerita rose, aku lebih suka menyebut rasa yang kita miliki terhadap lawan jenis sebagai rasa "suka".
Karena "cinta" terlalu tinggi stratanya. Ketika kita men "cinta" maka yang kita lakukan adalah membuat orang yang kita cinta bahagia dan tetap berpegang teguh pada rasa cinta yang direalisasikan dalam bentuk komitmen dan respect, mampu memahami kemauan dan keinginan pasangan, dan berusaha sejajar, berjalan bersama beriringan. Bukan monolog "kamu harus begini kamu haru begitu" tapi komunikasi dua arah "apa maumunapa mauku, tujuan kita apa dan bagaimana caranya untuk mencapai tujuan itu"
Kalau akhirnya menyakiti, mengecewakan, atau malah berkhianat maka itu bukan rasa "cinta" namun hanya rasa "suka" dan pemenuhan ego belaka.
Jangan lupa Like and Comments
*****
Dita memandang sendu sosok yang berjalan dari kejauhan, semakin lama semakin dekat, esensinya semakin terlihat nyata dan jelas.Otaknya sangat bising. Begitu banyak kata, begitu banyak kalimat, begitu banyak asumsi berkecamuk di dalamnya. "Haruskah dia mencoba lagi, membuka hatinya untuk Seokjin sehingga tidak ada penyesalan di akhir."
Seokjin semakin dekat dan tatapan sendu itu tak beranjak dari wajah Dita. "Apakah akan ada penyesalan bila tak ku coba. Akankah akhirnya akan sama, aku terluka dan kecewa lagi, ataukah akan berbeda?
Dita meremas tangannya "Sejujurnya aku takut."
"Dita apa kabar?" Seokjin menyapa dengan senyum secerah matahari
Dita hanya terdiam mematung dan masih menatap Seokjin dengan sendu.
"Apa yang akan kau beli hari ini. Kita akan belanja apa saja?"
"Kita? Begitu mudahnya kau mengucapkan kata itu. Pantaskah kau mengatakannya?"
"Ayo...kenapa diam saja? Jangan sampai kehabisan barang belanjaan. Sayuran segar pasti akan habis kalau kita tidak cepat."
Dita menaikkan satu alisnya "pantaskah dia mendapatkan kesempatan ke dua setelah apa yang dia lakukan? Bisakah kami bahagia ketika kami masih sama sama terluka. Akankah kami tidak berbuat gila dan saling memyakiti?"
"Dita..cepatlah..."
Dita menghela nafas kemudian berjalam tanpa semangat.
Seokjin yang menyadari keadaan dan perasaan Dita yang berkecamuk, berpura pura tidak tahu dan menutupinya dengan bersemangat untuk berbelanja.
Berjalan beriringan, membeli syur mayur dan kebutuhan rumah, namun akhirnya rasa sesak yanh sedari awal ada mendesak keluar membuncah dan akhirnya tumpah.
"Seokjin ssi, apa sebenarnya maumu?" Tak ada lagi pandangan sendu, kini beralih menjadi tatapan datar.
Terkesiap namun sadar sedari awal, bahwa pertanyaan itu pasti akhirnya akan Dita tanyakan. " Jangan berpikir apapun, jangan berpikir berlebihan, aku tidak menuntut banyak, aku hanya ingin tetap bisa melihatmu, membersamaimu dalam setiap aktivitasmu walau kita bukan siapa siapa, tidak terikat dalam suatu hubungan. Aku hanya ingin berada di dekatmu. Tidak kurang tidak lebih, aku sadar diri dan aku tak mau menjadi manusia serakah"
"......."
"Aku harap kau tak merasa terganggu."
Lamat Dita memandang Seokjin. Tatapan datar itu berubah menjadi sendu.. kemudian sedih. Ingin menerima namun hati belum sanggup.